Kisah Seru- Berselingkuh Dengan Istri TemanKu Singkat cerita, ketika hari pertama saya bertemu dengan teman kuliahku itu, rasanya kami langsung akrab.
Memang, sewaktu kami sama-sama duduk di bangku kuliah, kami sangat kompak dan sering tidur bersama di rumah kostku di kota Bone …
Bahkan, seringkali dia mentraktirku.“Nis, aku senang sekali bertemu denganmu dan memang sudah lama kucari-cari. Maukah kamu menginap barang sehari atau dua hari di rumahku?” katanya aku sambil merangkulku erat sekali.
Nama teman kuliahku itu adalah Manto.
“Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku sangat bersyukur kita bisa ketemu di tempat ini. Mungkin inilah namanya nasib baik, karena aku sama sekali tidak menyangka kalau kamu tinggal di kota Makassar ini,” jawabku sambil membalas rangkulannya.

Kami berangkulan cukup lama di sekitar Pasar Sentral Makassar, tepatnya di tempat jualan cakar.
“Ayo kita ke rumah dulu, Nis. Nanti kita ngobrol panjang lebar di sana, sekaligus kuperkenalkan istriku,” ajaknya sambil menuntunku naik ke mobil Feroza miliknya.
Setelah kami tiba di halaman rumahnya, Manto terlebih dahulu turun dan segera membuka pintu mobilnya di sebelah kiri, lalu mempersilakanku turun. Aku sangat kagum melihat rumah tempat tinggalnya yang berlantai dua. Lantai bawah digunakan sebagai gudang dan kantor perusahaannya, sementara lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Aku hanya ikut di belakangnya.
“Inilah hasil usaha kami, Nis, selama beberapa tahun di Makassar,” katanya sambil menunjukkan tumpukan beras dan ruangan kantornya.
“Wah, cukup hebat kamu, Sir. Usahamu cukup lumayan. Kamu sangat berhasil dibanding aku yang belum jelas sumber kehidupanku,” kataku padanya.
“Lin, Lin, inilah teman kuliahku dulu yang pernah kuceritakan tempo hari. Kenalkan, istri cantik saya!” teriak Manto memanggil istrinya, dan langsung kami dikenalkan.
“Lalina,” kata istrinya menyebut namanya ketika kusalami tangannya sambil tersenyum ramah dan manis, seolah menunjukkan rasa kegembiraan.
“Anis,” kataku pula sambil membalas senyumannya …
Nampaknya, Lalina ini adalah seorang istri yang baik hati, ramah, dan selalu memelihara kecantikannya. Usianya kutaksir baru sekitar 25 tahun, dengan tubuh sedikit langsing, tinggi badan sekitar 145 cm, serta berambut agak panjang. Tangannya terasa hangat dan halus sekali.
Setelah selesai menyambutku, Lalina lalu mempersilakanku duduk, dan ia buru-buru masuk ke dalam seolah ada urusan penting di dalam.
Belum lama kami bincang-bincang seputar perjalanan usaha Manto dan pertemuannya dengan Lalina di Kota Makassar ini, dua cangkir kopi susu beserta kue-kue bagus dihidangkan oleh Lalina di atas meja yang ada di depan kami.
“Silakan, Kak, dinikmati hidangan ala kadarnya,” ajakan Lalina menyentuh langsung ke lubuk hatiku. Selain karena senyuman manisnya, kelembutan suaranya, juga karena penampilan, kecantikan, dan sengatan bau parfumnya yang harum itu.
Dalam hati kecilku berkata, Alangkah senang dan bahagianya Manto bisa mendapatkan istri seperti Lalina ini. Seandainya aku juga mempunyai istri seperti dia, pasti aku tidak bisa ke mana-mana.
“Eh, kok malah melamun. Ada masalah apa, Nis, sampai termenung begitu? Apa yang mengganggu pikiranmu?” kata Manto sambil memegang pundakku, sehingga aku sangat kaget dan tersentak.
“Ti… Tidak ada masalah apa-apa kok. Hanya aku merenungkan sejenak tentang pertemuan kita hari ini. Kenapa bisa terjadi, ya,” jawabku sambil beralasan.

Lalina hanya terdiam mendengar kami bincang-bincang, tetapi sesekali ia memandangiku dan menampakkan wajah cerianya …
“Sekarang giliranmu, Nis, cerita tentang perjalanan hidupmu bersama istri. Sejak tadi hanya aku yang bicara. Silakan saja cerita panjang lebar, mumpung hari ini aku tidak ada kesibukan di luar. Lagi pula, anggaplah hari ini adalah hari keistimewaan kita yang perlu dirayakan bersama. Bukankah begitu, Lin?” kata Manto, seolah mencari dukungan dari istrinya, menunjukkan bahwa waktunya siap digunakan khusus untukku.
“Ok, kalau gitu aku akan utarakan sedikit tentang kehidupan rumah tanggaku, yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangga kalian,” ucapku sambil memperbaiki dudukku di atas kursi empuk itu.
“Maaf jika terpaksa kuungkapkan secara terus terang. Sebenarnya kedatanganku di Kota Makassar ini justru dipicu oleh problem rumah tanggaku …
Aku selalu cekcok dan bertengkar dengan istriku gara-gara aku kesulitan mendapatkan lapangan kerja yang layak dan mampu menghidupi keluargaku. Akhirnya, kuputuskan untuk meninggalkan rumah guna mencari pekerjaan di kota ini.
Eh… Belum aku temukan pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu tadi setelah dua hari aku ke sana ke mari. Mungkin pertemuan kita ini ada hikmahnya. Semoga saja pertemuan kita ini merupakan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan rumah tanggaku,” kisahku dengan jujur kepada Manto dan istrinya.
Mendengar kisah sedihku itu, Manto dan istrinya tak mampu berkomentar. Mereka tampak ikut sedih, bahkan kami semua terdiam sejenak.
Lalu, secara serentak, mulut Manto dan istrinya terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, tiba-tiba mereka saling menatap dan menutup kembali mulut mereka, seolah saling mengharap untuk memulai. Namun, yang terjadi justru mereka tertawa terbahak-bahak, membuatku heran hingga aku ikut tertawa.
“Begini, Nis, mungkin pertemuan kita ini benar ada hikmahnya, sebab kebetulan sekali kami butuh teman seperti kamu di rumah ini. Kami kan belum dikaruniai seorang anak, sehingga kami selalu kesepian.
Apalagi jika aku ke luar kota, misalnya ke Bone, maka istriku terpaksa sendirian di rumah. Meskipun sekali-kali ia memanggil keponakannya untuk menemani selama aku tidak ada, aku tetap mengkhawatirkannya. Untuk itu, jika tidak memberatkan, aku ingin kamu tinggal bersamaku.
Anggaplah kamu sudah mendapatkan lapangan kerja baru sebagai sumber mata pencaharianmu. Segala keperluan sehari-harimu akan aku coba tanggung sesuai kemampuanku,” kata Manto bersungguh-sungguh, yang sesekali diiyakan oleh istrinya.
“Maaf, kawan, aku tidak mau merepotkan dan membebanimu. Biarlah aku cari kerja di tempat lain saja, dan…”
Belum selesai aku bicara, tiba-tiba Manto memotong dan berkata, “Kalau kamu tolak tawaranku ini, berarti kamu tidak menganggapku lagi sebagai sahabat. Kami ikhlas dan bermaksud baik padamu, Nis,” katanya.
“Tetapi…”
Belum sempat kuutarakan maksudku, tiba-tiba Lalina juga ikut bicara, “Benar, Kak. Kami sangat membutuhkan teman di rumah ini.”
Sudah lama hal ini kami pikirkan, tetapi mungkin baru kali ini dipertemukan dengan orang yang tepat dan sesuai hati nurani. Apalagi Kak Anis ini memang sahabat lama Kak Manto, sehingga kami tidak perlu meragukan lagi. Bahkan, kami sangat senang jika Kak sekalian menjemput istri untuk tinggal bersama kita di rumah ini,” ucap Lalina, memberi dorongan kuat padaku.
“Kalau begitu, apa boleh buat. Terpaksa kuterima dengan senang hati, sekaligus kuucapkan terima kasih yang tak terhingga atas budi baik kalian. Tapi, sayangnya, aku tak memiliki keterampilan apa-apa untuk membantu kalian,” kataku dengan pasrah.
Tiba-tiba Manto dan Lalina bersamaan berdiri dan langsung saling berpelukan, bahkan saling mengecup bibir sebagai tanda kegembiraan. Lalu, Manto melanjutkan rangkulannya padaku dan juga mengecup pipiku, sehingga aku sedikit malu dibuatnya.
“Terima kasih, Nis, atas kesediaanmu menerima tawaranku. Semoga kamu berbahagia dan tidak kesulitan apa pun di rumah ini. Kami tak membutuhkan keterampilanmu, melainkan kehadiranmu untuk menemani kami di rumah ini. Kami hanya butuh teman bermain dan tukar pikiran, sebab tenaga kerjaku sudah cukup untuk membantu mengelola usahaku di luar. Sewaktu-waktu kami membutuhkan nasihatmu, dan istriku pasti merasa terhibur dengan kehadiranmu menemaninya jika aku keluar rumah,” katanya dengan sangat bergembira dan senang mendengar persetujuanku.
Kurang lebih satu bulan lamanya, kami seolah hanya diperhatikan seperti raja di rumah itu. Makanku diurus oleh Lalina, tempat tidurku terkadang juga dibersihkan olehnya. Bahkan, ia meminta untuk mencuci pakaianku yang kotor, tetapi aku keberatan.
Selama waktu itu pula, aku sudah dilengkapi dengan pakaian, bahkan kamar tidurku dibelikan TV 20 inci lengkap dengan VCD-nya …
Aku sangat malu dan merasa berutang budi pada mereka, sebab selain pakaian, aku pun diberi uang tunai yang jumlahnya cukup besar bagiku. Bahkan belakangan, kuketahui bahwa mereka juga seringkali mengirim pakaian dan uang ke istri dan anak-anakku di Bone lewat mobil.
Kami bertiga sudah cukup akrab dan hidup dalam satu rumah seperti saudara kandung: bersenda gurau, bercengkerama, dan bergaul tanpa batas, seolah tidak ada perbedaan status seperti majikan dan karyawan.
Kebebasan pergaulanku dengan Lalina memuncak ketika Manto berangkat ke Sulawesi Tenggara selama beberapa hari untuk membawa beras yang dijual di sana karena ada permintaan dari langganannya.
Pada malam pertama keberangkatan Manto, Lalina tampak gembira sekali, seolah tidak ada kekhawatiran apa pun.
Bahkan, Lalina sempat mengatakan kepada suaminya bahwa ia tidak takut lagi ditinggalkan meskipun berbulan-bulan lamanya karena sudah ada yang menjaganya. Namun, ucapannya itu dianggap sebagai bentuk humor terhadap suaminya. Manto pun tampak tidak khawatir meninggalkan istrinya dengan alasan yang sama.
Malam itu, kami (aku dan Lalina) menonton bersama di ruang tamu hingga larut malam sambil bertukar pengalaman, termasuk tentang kehidupan sebelum menikah dan latar belakang perkawinan kami masing-masing. Sikap dan tingkah laku Lalina sedikit berbeda dengan malam-malam sebelumnya.
Malam itu, Lalina membuat kopi susu dan menyodorkannya kepadaku bersama pisang susu. Kami menikmatinya bersama sambil menonton. Ia makan sambil berbaring di sampingku, seolah dianggap biasa saja. Sesekali, ia membalikkan tubuhnya kepadaku sambil bercerita. Namun, aku pura-pura bersikap biasa meskipun ada ganjalan aneh di benakku.
“Nis, kamu tidak keberatan kan menemaniku nonton malam ini? Besok kan tidak ada yang mengganggu kita, sehingga kita bisa tidur siang sepuasnya?” tanya Lalina tiba-tiba, seolah ia tak mengantuk sedikit pun.
“Tidak kok, Lin. Aku justru senang dan bahagia bisa nonton bersama majikanku,” kataku sedikit menyanjungnya …
Lalina lalu mencubitku sambil berkata, “Wii de… De, kok aku dibilangin majikan. Sebel aku mendengarnya. Ah, jangan ulang kata itu lagi deh. Aku tak sudi dipanggil majikan,” katanya.
“Hi… Hi… Tidak salah kan? Maaf jika tidak senang. Aku hanya main-main. Lalu aku harus panggil apa? Adik, Non, Nyonya, atau apa?” tanyaku.
“Terserah deh, yang penting bukan majikan. Tapi aku lebih senang jika kamu memanggil aku adik,” katanya santai.
“Oke, kalau begitu maunya. Aku akan panggil adik saja,” kataku lagi.
Malam semakin larut. Tak satu pun terdengar suara kecuali suara kami berdua dan suara TV.
Lalina tiba-tiba bangkit dari pembaringannya.
“Nis, apa kamu sering nonton kaset VCD bersama istrimu?” tanya Lalina dengan suara sedikit rendah, seolah tak mau didengar orang lain.
“Eng… Pernah, tapi sama-sama dengan orang lain juga karena kami nonton di rumahnya,” jawabku, menyembunyikan rasa heranku atas pertanyaannya yang tiba-tiba dan sedikit aneh itu.
“Kamu ingat judulnya? Atau jalan ceritanya?” tanyanya lagi.
“Aku lupa judulnya, tapi pemainnya adalah Rhoma Irama, dan ceritanya tentang masalah percintaan,” jawabku sambil pura-pura bersikap biasa.
“Masih mau nggak kamu temani aku nonton film dari VCD? Kebetulan aku punya banyak kaset VCD. Judulnya macam-macam. Terserah yang mana Anis suka,” tawarnya.
Aku sempat berpikir kalau Lalina akan memutar film yang aneh-aneh, seperti film orang dewasa yang biasanya khusus ditonton oleh suami istri untuk membangkitkan gairah. Setelah kupikirkan segala risiko, kepercayaan, dan dosa, aku lalu mencari alasan.
“Sebenarnya aku senang sekali, tapi aku takut… Eh, maaf. Aku sangat ngantuk. Jika tidak keberatan, lain kali saja, pasti kutemani,” kataku sedikit bimbang dan takut alasanku salah.
Akhirnya, ia menerima alasan itu, meskipun nampaknya ada sedikit kekecewaan di wajahnya dan semangatnya menurun …
“Baiklah, jika memang kamu sudah ngantuk. Aku tidak mau memaksamu, lagi pula aku sudah cukup senang dan bahagia kamu bersedia menemaniku nonton sampai selarut ini. Ayo kita masuk tidur,” katanya sambil mematikan TV.
Namun, sebelum aku menutup pintu kamarku, aku melihat sejenak ia sempat memperhatikanku, tapi aku pura-pura tidak menghiraukannya.
Di atas tempat tidurku, aku gelisah dan bingung memikirkan alasan jika besok atau lusa ia kembali mengajakku nonton film tersebut. Antara keinginan, malu, dan rasa takut terus menghantuiku. Mungkin dia juga mengalami hal yang sama, karena dari dalam kamarku selalu terdengar pintu kamar yang terbuka dan tertutup serta suara air di kamar mandi yang terus terdengar mengalir.
Setelah makan malam bersama keesokan harinya, kami kembali menonton TV di ruang tamu. Namun, penampilan Lalina kali ini agak berbeda dari biasanya. Ia berpakaian serba tipis, dan tercium bau parfum yang harum menyengat, memenuhi ruang tamu itu. Jantungku sempat berdebar, dan hatiku gelisah mencari alasan untuk menolak ajakannya, meskipun gejolak hati kecilku untuk mengikuti kemauannya lebih besar dari niat penolakanku.
Belum sempat aku menemukan alasan yang tepat, Lalina tiba-tiba bertanya, “Nis, masih ingat janjimu tadi malam? Atau kamu sudah ngantuk lagi?”
Pertanyaannya mengagetkanku.
“Oh… Oh iya, aku ingat. Nonton VCD kan? Tapi jangan yang seram-seram dong filmnya. Aku nggak suka. Nanti aku mimpi buruk dan malah sakit, kan repot jadinya,” jawabku sambil mengingatkan agar tidak memutar film dewasa.
“Kita lihat saja permainannya. Kamu pasti senang menyaksikannya, karena aku yakin kamu belum pernah menontonnya. Lagi pula, ini film baru,” kata Lalina sambil meraih kotak yang berisi setumpuk kaset VCD. Ia lalu menarik sekeping kaset yang berada paling atas, seolah sudah mempersiapkannya sebelumnya.
Setelah itu, ia memasukkan kaset ke dalam pemutar CD, lalu mundur dua langkah dan duduk di sampingku, menunggu gambar yang akan muncul di layar TV …
Dag, dig, dug. Getaran jantungku sangat keras menunggu gambar yang akan tampil di layar TV.
Mula-mula aku yakin kalau filmnya adalah film yang dapat dipertontonkan secara umum karena gambar pertama yang muncul adalah dua orang gadis yang sedang berloma naik speed board atau sampan dan saling membalap di atas air sungat.Namun dua menit kemudian, muncul pula dua orang pria memburuhnya dengan naik kendaraan yang sama, akhirnya keempatnya bertemu di tepi sungai dan bergandengan tangan lalu masuk ke salah satu villa untuk bersantai bersama.Tak lama kemudian mereka berpasang-pasangan dan saling membuka pakaiannya, lalu saling merangkul, mencium dan seterusnya sebagaimana layaknya suami istri.
Niat penolakanku tadi tiba-tiba terlupakan dan terganti dengan niat kemauanku.Kami tidak mampu mengeluarkan kata-kata, terutama ketika kami menyaksikan dua pasang muda mudi bertelanjang bulat dan saling menjilati kemaluannya, bahkan saling mengadu alat yang paling vitalnya. Kami hanya bisa saling memandang dan tersenyum.”Gimana Nis,? Asyik khan? Atau ganti yang lain saja yang lucu-lucu?” pancing Lalina, tapi aku tak menjawabnya, malah aku melenguh panjang.”Apa kamu sering dan senang nonton film beginian bersama suamimu?” giliran aku bertanya, tapi Lalina hanya menatapku tajam lalu mengangguk.”Hmmhh” kudengar suara nafas panjang Lalina keluar dari mulutnya.”Apa kamu pernah praktekkan seperti di film itu Nis?” tanya Lalina ketika salah seorang wanitanya sedang menungging lalu laki-lakinya menusukkan kontolnya dari belakang lalu mengocoknya dengan kuat.”Tidak, belum pernah” jawabku singkat sambil kembali bernafas panjang.
“Maukah kamu mencobanya nanti?” tanya Lalina dengan suara rendah …
“Dengan siapa, kami khan pisah dengan istri untuk sementara” kataku.”Jika kamu bertemu istrimu nanti atau wanita lain misalnya” kata Lalina.”Yachh.. Kita liat saja nanti. Boleh juga kami coba nanti
hahaha” kataku.”Nis, apa malam ini kamu tidak ingin mencobanya?” Tanya Lalina sambil sedikit merapatkan tubuhnya padaku.Saking rapatnya sehingga tubuhnya terasa hangatnya dan bau harumnya.”Dengan siapa? Apa dengan wanita di TVitu?” tanyaku memancing.”Gimana jika dengan aku? Mumpung hanya kita berdua dan nggak bakal ada orang lain yang tahu.
Mau khan?” Tanya Lalina lebih jelas lagi mengarah sambil menyentuh tanganku, bahkan menyandarkan badannya ke badanku.Sungguh aku kaget dan jantungku seolah copot mendengar rincian pertanyaannya itu, apalagi ia menyentuhku.Aku tidak mampu lagi berpikir apa-apa, melainkan menerima apa adanya malam itu.Aku tidak akan mungkin mampu menolak dan mengecewakannya, apalagi aku sangat menginginkannya, karena telah beberapa bulan aku tidak melakukan sex dengan istriku.Aku mencoba merapatkan badanku pula, lalu mengelus tangannya dan merangkul punggungnya,sehingga terasa hangat sekali.”Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau kenyataan?” Tanyaku amat gembira.”Akan kubuktikan keseriusanku sekarang.Rasakan ini sayang” tiba-tiba Lalina melompat lalu mengangkangi kedua pahaku dan duduk di atasnya sambil memelukku, serta mencium pipi dan bibirku bertubi-tubi.Tentu aku tidak mampu menyia-nyiakan kesempatan ini.
Aku segera menyambutnya dan membalasnya dengan sikap dan tindakan yang sama …
Nampaknya Lalina sudah ingin segera membuktikan dengan melepas sarung yang dipakainya, tapi aku belum mau membuka celana panjang yang kepakai malam itu.Pergumulan kami dalam posisi duduk cukup lama, meskipun berkali-kali Lalina memintaku untuk segera melepaskan celanaku, bahkan ia sendiri beberapa kali berusaha membuka kancingnya, tapi selalu saja kuminta agar ia bersabar dan pelan-pelan sebab waktunya sangat panjang.”Ayo Kak Nis, cepat sayang.Aku sudah tak tahan ingin membuktikannya” rayu Lalina sambil melepas rangkulannya lalu ia tidur telentang di atas karpet abu-abu sambil menarik tanganku untuk menindihnya. Aku tidak tega membiarkan ia penasaran terus, sehingga aku segera menindihnya.”Buka celana sayang.
Cepat.. Aku sudah capek nih, ayo dong,” pintanya.Akupun segera menurutipermintaannya dan melepas celana panjangku. Setelah itu, Lalina menjepitkan ujung jari kakinya ke bagian atas celana dalamku dan berusaha mendorongnya ke bawah, tapi ia tak berhasil karena aku
sengaja mengangkat punggungku tinggi-tinggi untuk menghindarinya.Ketika aku mencoba menyingkap baju daster yang dipakaianya ke atas lalu ia sendiri melepaskannya, aku kaget sebab tak kusangka kalau ia sama sekali tidak pakai celana.Dalam hatiku bahwa mungkin ia
memang sengaja siap-siap akan bersetubuh denganku malam itu.Di bawah sinar lampu 10 Wyang dibarengi dengan cahaya TVyang semakin seru bermain bugil, aku sangat jelas menyaksikan sebuah lubang yang dikelilingi daging montok nan putih mulus yang tidak
ditumbuhi bulu selembar pun.
Tampak menonjol sebuah benda mungil seperti biji kacang di tengah-tengahnya …
Rasanya cukup menantang dan mempertinggi birahiku,tapi aku tetap berusaha mengendalikannya agar aku bisa lebih lama bermain-main dengannya. la sekarang sudah bugil 100%, sehingga terlihat bentuk tubuhnya yang langsing,putih mulus dan indah sekali dipandang.”Ayo donk, tunggu apa lagi sayang. Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini” pinta Lalina tak pernah berhenti untuk segera menikmati puncaknya.”Tenang sayang. Aku pasti akan memuaskanmu malam ini, tapi saya masih mau bermain-main lebih lama biar kita lebih banyak menikmatinya”katakuSecara perlahan tapi pasti, ujung lidahku mulai menyentuh tepi lubang kenikmatannya sehingga membuat pinggulnya bergerak-gerak dan berdesis.”Nikmat khan kalau begini?” tanyaku berbisik sambil menggerak-gerakkan lidahku ke kiri dan ke kanan lalu menekannya lebih dalam lagi sehingga Lalina setengah berteriak dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya seolah ia menyambut dan ingin memperdalam masuknya ujung lidahku.la hanya mengangguk dan memperdengarkan suara desis dari mulutnya.
“Auhh.. Aakkhh.. lihh.. Uhh.. Oohh.. Sstt” suara itu tak mampu dikurangi ketika aku gocok-gocokkan secara lebih dalam dan keras serta cepat keluar masuk ke lubang kemaluannya.”Teruuss sayang, nikkmat ssekalii..Aakhh.. Uuhh.Aku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya” katanya dengan suara yang agak keras sambil menarik- narik kepalaku agar lebih rapat lagi.”Bagaimana? Sudah siap menyambut lidahku yang panjang lagi keras?” tanyaku sambil melepaskan seluruh pakaianku yang masih tersisa dan kamipun sama-sama bugil.Persentuhan tubuhku tak sehelai benangpun yang melapisinya.
Terasa hangatnya hawa yang keluar dari tubuh kami …
“liyah,. Dari tadi aku menunggu.Ayo,. Cepat” kata Lalina tergesa-gesa sambil membuka lebar-lebar kedua pahanya, bahkan membuka lebar-lebar lubang vaginanya dengan menarik kiri kanan kedua bibirnya untuk memudahkan jalannya kemaluanku masuk lebih dalam lagi.Aku pun tidak mau menunda- nunda lagi karena memang aku sudah puas bermain lidah di mulut atas dan mulut bawahnya, apalagi keduanya sangat basah. Aku lalu mengangkat kedua kakinya hingga bersandar ke bahuku lalu berusaha menusukkan ujung kemaluanku ke lubang vagina yang sejak tadi menunggu itu. Ternyata tidak mampu kutembus sekaligus sesuai keinginanku. Ujung kulit penisku tertahan, padahal Lalina sudah bukan perawan lagi.
“Ssaakiit ssediikit..,ppeelan-pelan sedikit” kata Lalina ketika ujung penisku sedikit kutekan agak keras. Aku gerakkan ke kiri dan ke kanan tapi juga belum berhasil amblas.Aku turunkan kedua kakinya lalu meraih sebuah bantal kursi yang di belakanku lalu kuganjalkan di bawah pinggulnya dan membuka lebar kedua pahanya lalu kudorong penisku agak keras sehingga sudah mulai masuk setengahnya.Lalinapun merintih keras tapi tidak berkata apa-apa, sehingga aku tak peduli, malah semakin kutekan dan kudorong masuk hingga amblas seluruhnya.Setelah
seluruh batang penisku terbenam semua, aku sejenak berhenti bergerak karena capek dan melemaskan tubuhku di atas tubuh Lalina yang juga diam sambil bernafas panjang seolah baru kali ini menikmati betul persetubuhan.
Lalina kembali menggerak-gerakkan pinggulnya …
dan akupun menyambutnya. Bahkan aku tarik maju mundur sedikit demi sedikit hingga jalannya agak cepat lalu cepat sekali. Pinggul kami bergerak, bergoyang dan berputar seirama sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yangberirama pula.”Tahan sebentar” kataku
sambil mengangkat kepala Lalina tanpa mencabut penisku dari lubang vagina Lalina sehingga kami dalam posisi duduk.Kami saling merangkul dan menggerakkan pinggul, tapi tidak lama karena terasa sulit.
Lalu aku berbaring dan telentang sambil menarik kepada Lalina mengikutiku, sehingga Lalina berada di atasku. Kusarankan agar ia menggoyang, mengocok dan memanaskan dengan keras lagi cepat.la pun cukup memahami keinginanku sehingga kedua tangan bertumpu di
atas dadaku lalu menghentakkan agak keras bolak-balik pantatnya ke penisku, sehingga terlihat kepalanya lemas dan seolah mau jatuh karena baru kali itu ia melakukannya dengan posisi seperti itu.Karena itu, kumaklumi jika ia cepat capek dan segera menjatuhkan
tubuhnya menempel ke atas tubuhku, meskipun pinggulnya masih tetap bergerak naik turun.
“Kamu mungkin sangat capek. Gimana kalau ganti posisi?” …
kataku sambil mengangkat tubuh Lalina dan melapas rangkulannya.”Posisi bagaimana lagi? Aku sudah beberapa kali merasa nikmat sekali” tanyanya heran tidak seolah tahu apa yang akan kulakukan,namun tetap ia ikuti permintaanku karena ia pun merasa sangat nikmat dan belum pernah mengalami permainan seperti itu sebelumnya.”Terima saja permainanku.Aku akan menunjukkan beberapa pengalamanku””Yah.. Yah.. Cepat lakukan apa saja” katanya singkat.Aku berdiri lalu mengangkat tubuhnya dari belakang dan kutuntunnya hingga ia dalam posisi nungging.
Setelah kubuka sedikit kedua pahanya dari belakan, aku lalu menusukkan kembali ujung penisku ke lubangnya lalu mengocok dengan keras dan cepat sehingga menimbulkan bunyi dengan irama yang indah seiring dengan gerakanku.Lalina pun terengah-engah dan napasnya terputus-putus menerima kenikmatan itu. Posisi kami ini tak lama sebab Lalina tak mampu menahan rasa capeknya berlutut sambil kupompa dari belakan.Karenanya, aku kembalikan ke posisi semula yaitu tidur telentang dengan paha terbuka lebar lalu kutindih dan kukokok dari depan, lalu kuangkat kedua kakinya bersandar ke bahuku.Posisi inilah yang membuat permainan kami memuncak karena tak lama setelah itu, Lalina berteriak- teriak sambil merangkul keras pinggangku dan mencakar-cakar punggungku.Bahkan terkadang keras menarik wajahku menempel ke wajahnya dan menggigitnya dengan gigitan kecil.
Bersamaan dengan itu pula, aku merasakan ada cairan hangat mulai menjalar di batang penisku …
terutama ketika terasa sekujur tubuh Lalina gemetar. Aku tetap berusaha untuk menghindari pertemuan antara spermaku dengan sel telur Lalina, tapi terlambat, karena baru aku mencoba mengangkat punggungku dan ingin menumpahkan di luar rahimnya, tapi Lalina malah mengikatkan tangan lebih erat seolah-olah penganutku menumpahkan di luar yang akhirnya cairan kental dan hangat itu memaksa tumpah seluruhnya di dalam rahim Lalina.Lalina nampaknya tidak menyesal, malah sedikit ceria menerimanya, tapi aku diliputi rasa takut kalau-kalau jadi janin nantinya, yang akan membuat malu dan hubungan persahabatanku berantakan.
Setelah kami sama-sama mencapai puncak,puas dan menikmati persetubuhan yang sesungguhnya, kami lalu disajikan di atas karpet tanpa bantal. Layar TV sudah berwarna biru karena pergumulan filmnya sejak tadi selesai. Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 12.00 malam tanpa terasa kami bermain kurang lebih 3 jam. Kami sama-sama mendengarkan dan tak mampu berkata-kata apapun hingga tertidur lelap. Setelah terbangun jam 7.00 pagi di tempat itu, rasanya masih terasa capek bercampur segar.”Nis, kamu sangat hebat. Aku belum pernah mendapatkan kenikmatan dari suamiku selama ini seperti yang kamu berikan tadi malam” kata Lalina ketika ia juga terbangun pagi itu sambil merangkulku.
“Benar nih, jangan-jangan hanya gombal untuk menyenangkanku” tanyaku …
“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih banyak memikirkan kesenangannya dan posisi mainnya hanya satu saja. la di atas dan aku di bawah.Kadang ia loyo sebelum kami apa-apa. Kontolnya pendek sekali sehingga tidak mampu memberikan kenikmatan padaku seperti yang kami berikan. Andai saja kamu suamiku, pasti aku bahagia sekali dan selalu mau bersetubuh, kalau perlu setiap hari dan setiap malam” paparnya seolah-olah memenuhi persyaratan dengan suami dan membandingkan denganku. “Tidak boleh sayang. itu namanya sudah jodoh yang tidak mampu kita tolak. Kitapun berjodoh bersetubuh dengan cara selingkuh.Sudahlah.
Yang penting kita sudah menikmatinya dan akan terus menikmatinya” kataku sambil menenangkannya sekaligus mencium keningnya.”Maukah kamu terus menerus memberiku kenikmatan seperti tadi malam itu ketika suamiku tak ada bersama di rumah” tanyanya menuntut janjiku.”lyah, pasti selama aman dan aku tinggalmu. Masih banyak permainanku yang belum kutunjukkan” kataku berjanji akan kembalinya”Gimana kalau istri dan anak-anakmu nanti datang?” tanyanya khawatir.”Gampang diatur. Aku kan pembantumu, sehingga aku bisa selalu dekat denganmu tanpa syarat istriku.
Apalagi istriku pasti tak tahan tinggal di kota karena dia sudah terbiasa di kampung bersama keluarganya tapi yang kutakutkan jika kamu hamil tanpa diakui sebagai suamimu” kataku …
“Aku tak bakal hamil, karena aku akan memakan pil KB sebelum bermain seperti yang kulakukan tadi malam, karena memang telah kurencanakan” kara Lalina terus terang.
Setelah kami bincang-bincang sambil tiduran di atas karpet, kami lalu ke kamar mandi masing-masing membersihkan diri lalu kami ke halaman rumah membersihkan setelah sarapan pagi bersama.Sejak saat itu, kami hampir setiap malam melakukannya, terutama ketika suami Lalina tak ada di rumah , baik siang hari apalagi malam hari, bahkan beberapa kali kulakukan di kamarku ketika suami Lalina masih tertidur di kamarnya, sebab Lalina sendiri yang mendatangi kamarku ketika sedang “haus”.Entah sampai kapan hal ini akan berlangsung, tapi yang jelas hingga saat ini kami masih selalu ingin melakukannya dan belum ada tanda-tanda kemiskinan dari suami dan dari istriku. Demikianlah Kisah Seru – Berselingkuh Dengan Istri TemanKu.
Klik Disini, Daftar Platform Game Online Lengkap Aman dan Terpercaya Sejak 2014
Leave a Reply