Kota M terletak sekitar 100 kilometer dari kota kelahiran Joni …
Joni ‘Skidipapap’ Dengan Pacarnya Kini, pemuda itu menuju ke sana dengan naik kendaraan umum bersama teman ayahnya, Paman Tingga, yang bersedia menampung Joni selama ia mempersiapkan diri untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi itu masih basah dan berembun ketika mereka berdua berjalan kaki menuju terminal.
Sambil melangkah, Joni mengenang perpisahannya malam tadi dengan Maya. Ada kesedihan di wajah manis gadis itu, meskipun Joni berusaha menghiburnya dengan candaan. Lagi pula, apa yang perlu disaukannya? Mereka hanya akan berpisah selama dua bulan. Bagi Joni, berpisah dari Maya bukan masalah besar, karena ia merasa perlu berkonsentrasi penuh untuk masa depannya. Namun bagi Maya, perpisahan ini terasa berbeda. Gadis itu merasa inilah awal dari sebuah perpisahan panjang yang tak terelakkan.
Malam itu, mereka meminta izin untuk menonton bioskop. Kedua orang tua Maya mengizinkan, dengan syarat agar mereka pulang sebelum pukul 11. Namun, rencana menonton itu akhirnya batal, karena film yang ingin mereka saksikan ternyata digantikan oleh film silat. Akhirnya, mereka memilih duduk di pinggir alun-alun dekat pantai. Di sana, ada tembok pendek yang membatasi alun-alun dengan jalan. Mereka duduk di atasnya, melingkari kaki sambil memandang ke arah laut yang hitam di selatan.

“Aku pasti itu!” ucap Joni mencoba tegas, meski ia sendiri tak yakin apakah suaranya terdengar tegas. Dalam hati, Joni bertanya-tanya apakah benar ada kepastian di masa depan. Bukankah masa depan selalu samar-samar?
Maya menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dalam desah yang keras. “Ya, mungkin kita akan bertemu lagi, tapi mungkin sebagai dua orang yang berbeda…” ucapnya pelan.
Joni menjawab. Tiba-tiba, ia sadar betapa ia tak berkuasa mengatur aliran kehidupan …
Betapa kecilnya dirinya di hadapan dunia yang begitu luas, yang berada di luar batas kendalinya. Ia ingin bersekolah dan arsitek menjadi yang terbaik, tetapi untuk itu ia harus meninggalkan banyak kenangan manis. Bukan hanya Maya, tapi juga Susi, adik satu-satunya; ayah dan ibu; teman-teman; sungai tempatnya berenang; pantai yang menyimpan jutaan kenangan; hutan kenari; kota kecil yang damai… semuanya.
“Melamun apa?” teguran Paman Tingga di situ membuat Joni tersentak. Tanpa disadari, mereka sudah sampai di terminal. Joni tersipu dan berbohong, mengatakan bahwa dia sedang membayangkan Kota M. Paman Tingga tersenyum lalu menepuk pundaknya.
“Jangan bohong. Kamu pasti sedang melamunkan pacarmu,” ucapnya sambil tertawa pelan.
“Yah… ya itu juga kulamunkan, sambil membayangkan Kota M,” jawab Joni tak mau kalah.
Paman Ting tertawa lebih keras. Mereka naik ke kendaraan umum yang sudah menunggu. Joni duduk dekat jendela, sementara Paman Tingga turun lagi untuk membeli makanan kecil dan minuman. Joni tetap berada di dalam kendaraan, melanjutkan lamunannya.
Setelah bosan duduk di alun-alun, Maya dan Joni berjalan menelusuri pantai. Pada malam hari, terutama saat libur sekolah seperti ini, dan ketika hujan tak turun, pantai selalu ramai oleh warung-warung dan orang yang berjalan-jalan. Anak-anak berlarian bermain kejar-kejaran. Sekelompok orang tampak duduk mengelilingi sepasang lelaki yang bermain catur di bawah sinar lampu petromaks. Di tempat lain, sekelompok remaja bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. Berpasang-pasang kekasih terlihat berjalan-jalan, sama seperti Joni dan Maya.
Sesekali mereka berpapasan dengan orang yang dikenal, saling bertegur sapa, atau berhenti sejenak untuk berbasa-basi…
Maya dan Joni lebih banyak diam sambil berjalan, masing-masing tenggelam dalam lamunan tentang saat perpisahan yang telah tiba. Mereka mencoba memahami makna dari perpisahan itu, namun hanya satu hal yang mereka temukan: perpisahan itu menyakitkan, memehkan, dan membuat tak berdaya.
Maya menggamit lengan Joni, meremasnya pelan, lalu bertanya, memecah keheningan, “Apakah kamu mencintaiku?”
“Iya,” jawab Joni singkat.
“Sial! Mengapa jawabanku pendek sekali?” umpat Joni dalam hati. Tapi, lalu berapa panjang yang seharusnya? Satu kalimat? Dua kalimat? Satu halaman surat? Kemungkinannya panjang?
“Kenapa kamu tidak pernah mengutarakannya?” tanya Maya lagi.
“Kenapa?” Joni malah balik bertanya.
“Aku yang bertanya duluan. Kamu, kok, malah bertanya kembali,” sergah Maya.
“Ya, aku juga bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku tak pernah mengutarakan.”
“Lalu, apa penjelasannya?” Desak Maya.
“Aku tak tahu. Tapi kenapa itu jadi persoalan, Maya? Aku memang tak pernah mengucapkannya. Aku tak bisa. Tak pandai,” jawab Joni agak kesal.
Maya menghentikan langkahnya, membuat Joni ikut berhenti …
Mereka kini berada cukup jauh dari keramaian. Suara deburan ombak yang kencang menambah keheningan di antara mereka.
Suara ombak terdengar semakin keras di tengah ketenangan malam. Maya memegang kedua tangan Joni, menghadapnya dengan kepala sedikit tengadah. Ia memandang Joni dengan mata beningnya, sebagian rambut menutupi wajahnya, melintang di hidungnya yang bangir, tepi yang ranum, dan pipi berlesung pipit. Di mata Joni, kecantikan Maya tampak menawan, sinar kerinduan di matanya berkilau seperti bintang-bintang di langit malam. Di wajah itu, ia menemukan tempat melabuhkan impian-impiannya.
“Mengapa semuanya tampak begitu mengesankan saat kamu harus berpisah?” pikir Joni dalam hati.
Maya memejamkan matanya, merasakan hembusan nafas kekasihnya begitu dekat dengan wajahnya. Perlahan bibir Joni menyentuh bibir Maya. Kedua tangan mereka saling meremas erat. Angin malam yang kencang meniup jaket mereka. Ciuman mereka terasa begitu lembut, selembut awan putih di langit biru, sehangat cerahnya mentari pagi, penuh kehangatan dan kerinduan.
Maya membuka mulut, mengundang kekasihnya menyelami seluruh jiwa raganya. “Datanglah, kekasihku, reguk habis rinduku, bawa aku terbang setinggi mungkin,” pikirnya dalam hati.
Keduanya berdiri begitu rapat. Joni mengulum mesra bibir Maya, menghirup harum napasnya, menggigit manja lidahnya yang nakal. Maya membuka sedikit matanya, menatap wajah Joni yang begitu dekat. Dalam hati, ia meremas, “Sebentar lagi dia akan pergi jauh. Sebentar lagi wajah ini hanya akan ada dalam potret di dompetku, yang mungkin akan subur karena terlalu sering kusentuh.”
Sambil membalas ciuman Joni, Maya diam-diam merekam wajahnya sedetail mungkin, mematrinya dalam kenangan. Ah, Joni… dahi yang selalu serius, pandangan yang tajam-tegas, tulang pipinya yang mencerminkan keteguhan, hidungnya yang menggemaskan (Maya senang sekali mencubit hidung itu!), dan bibir yang selalu bergairah. Selalu.
Joni akhirnya melepaskan ciumannya dan membuka mata, menemukan Maya yang memandangnya dengan penuh kasih. Ia berbisik, “Maya, aku ingin bercumbu malam ini. Mari kita pergi dari sini…”
Maya tertawa pelan, lalu bertanya sambil memeluk leher Joni ..
“Kemana kamu ingin membawaku?”
Joni menoleh ke sekeliling. Pantai tampak sepi, namun juga terlalu menyeramkan di tengah malam seperti ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengajak Maya ke tempat “persembunyian” mereka: sebuah pondok di tengah kebun kopi. Tempatnya berada di sisi kota lain, jadi mereka harus berjalan cepat untuk sampai ke sana.
“Ke sana?” tanya Maya, melihat Joni yang diam saja. Gadis ini memang selalu bisa membaca pikiranku, pikir Joni.
“Ayo, kita ke sana…” kata Joni penuh semangat, menggulung celana dan menarik tangan Maya meninggalkan pantai. Maya tertawa kecil, mengikuti tarikan tangan kekasihnya. Tak lama kemudian, mereka berlari-lari menyebrangi jalan, melewati alun-alun menuju tengah kota. Sesampainya di depan kantor camat, mereka berbelok, melintasi persawahan, berjalan sambil bercanda, meski malam semakin larut.
“Waahhh… melamun lagi!” Suara Paman Tingga mengejutkan Joni. Ternyata ia sudah kembali ke mobil dengan makanan kecil di tangan.
Joni terperanjat dan tersipu. Sialan! Lamunannya terpotong di tengah jalan.
“Nih, makanlah kacang goreng supaya tidak terlalu banyak melamun,” ujar Paman Tingga sambil menyodorkan sebungkus kacang.
Joni mengucapkan terima kasih dan mulai memasukkan beberapa butir kacang ke mulut …
Paman Tingga lalu mengajak Joni berbicara, menanyakan kabar sekolahnya. Dengan senyum tipis, Joni menimpali, menjawab semua pertanyaan sang paman dengan lengkap.
Paman Tingga kemudian bercerita tentang dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil. Ia menjelaskan bahwa Kota Myg kini tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan bagi kota-kota kecil di sekitarnya. Ternyata, Paman Tingga adalah seorang pedagang yang namanya sedang naik daun; ia sering bolak-balik ke ibu kota untuk mengurus bisnisnya. Meski dunia bisnis terasa asing bagi Joni, ia senang mendengar cerita Paman Tingga tentang lika-liku bisnis.
Ketika mobil mulai bergerak, Paman Ting menghentikan ceritanya. Apalagi tak lama kemudian, ia terlihat terkantuk-kantuk. Baru sepuluh menit berlalu, Paman Tingga telah menyandarkan kepala di jok dan tertidur nyenyak. Joni masih mengamati kacang, memandang keluar jendela, melihat kotanya yang semakin jauh tertinggal di belakang.
Tanpa sadar, Joni melamunkan kembali kejadian semalam…
Pondok itu tetap sepi dan bagai magnet, menarik kedua remaja itu untuk kembali berkunjung meskipun setiap kali mereka berniat menghindar. Mungkin seperti lampu yang menarik laron-laron untuk terbang mendekat. Kalau terlalu dekat, laron-laron itu pasti akan terbakar. Tapi, bagaimana jika mereka sudah terbakar api asmara bahkan sebelum menyentuh cahaya itu?
Dengan hati-hati, Maya dan Joni melangkah mendekati pondok sambil melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang lewat …
Tampaknya, tidak ada seorang pun di sekitar mereka. Joni menggenggam erat tangan kekasihnya, perlahan-lahan mendekati pondok. Setiap kali mereka melangkah, serangga-serangga malam menghentikan “musik” mereka, seakan menghormati kedatangan kedua remaja itu. Begitu mereka berlalu, suara serangga kembali riuh.
Sesampainya di depan pintu, Joni segera mengajak Maya masuk. Pondok itu, tentu saja, gelap gulata. Setelah beberapa saat, mata mereka mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan. Di dalam, mereka bisa melihat ruang kosong dengan dipan kayu yang berada di tengah.
Tanpa kata, Joni duduk dipan, dan Maya segera naik ke pangkuannya. Mereka saling terdiam sejenak, lalu berciuman tanpa mengucapkan kata pun.
Napas Maya sudah berburu sejak tadi, bukan hanya karena harus berjalan cepat dan setengah berlari, tetapi juga karena ia memang selalu bergairah jika berpasangan dengan Joni. Ciuman mereka kini tak lagi lembut seperti saat di pantai, melainkan bergelora, penuh gairah, saling berpagut dan mengulum. Napas mereka saling berdesah, beradu cepat seakan ingin saling mengalahkan. Kedua pasang bibir mereka saling menekan, bergantian menghisap, dan lidah mereka bermain-main seperti dua naga kecil di taman basah dan hangat, yang tak lain adalah mulut mereka.
Berkali-kali Maya merasa mual, tak sanggup menahan intensitas ciuman Joni yang begitu bergairah. Namun, ia kembali mengulum bibir kekasihnya, membiarkan lidahnya menjelajah lebih dalam, menyentuh langit-langit mulut Joni, menimbulkan sensasi geli dan hangat. Seperti biasa, Maya hanya memakai kaos tebal dan jaket, tanpa beha. Dengan leluasa, tangan Joni segera menelusup, menyentuh bukit-bukit indah di balik kaos itu—padat dan kenyal, penuh kehangatan. Jari-jarinya bermain lembut di atas kedua puting yang sudah menegangkan.
Maya mengerang, merasakan tubuhnya dipenuhi gelombang hangat seolah badai tengah melanda …
Sambil memeluk leher Joni, ia membusungkan dadanya, mendekatkan tubuhnya pada kekasihnya, ingin merasakan lebih lagi. Mulut Joni kemudian meninggalkan bibir Maya, kini mendarat di ciuman yang ciuman, menciumi kulit halus di bawah telinga, lalu menggigit lembut cuping telinga. Maya terkejut, namun juga senang dengan perlakuan itu. Ketika Joni menggigit pelan-pelan, rasa geli bercampur nikmat memuaskan dirinya, membangkitkan gairah yang semakin besar.
Maya maju sedikit, mengangkat tubuhnya agar mulut Joni dapat turun lebih jauh. Ia cepat-cepat mengangkat kedua tangannya, memberi ruang agar Joni bisa melepaskan kaos yang ia kenakan.
Segera dua payudara gadis kenyal-padat itu terpampang indah sekali dalam keremangan malam, putih bersih bagai bersinar.Hmmm,Joni menenggelamkan wajahnya di lembah harum di antara dua bukit indah itu. Hmmm….tubuh Maya selalu penuh keharuman sabun wangi, dan juga berbeda yang biasa dipakai bayi. Hmmm….. sungguh menggairahkan rasanya ciumani dada ranum yang agak basah oleh keringat itu. Dengan gemas, penumpukannya sedikit daging di pangkal salah satu payudara itu. Maya mengerang.Maya merintih.”Uuuh….,” Maya merintih ketika mulut joni naik dan mengulum puting sebelah kiri. Tubuh gadis itu menggelinjang ke kiri.”Aaaah …..” Maya mengerang ketika joni meremas payudara sebelah kanan. Tubuh gadis itu bergeser ke kanan. Begitulah terus. Ke kiri. Ke kanan. Gerakan-gerakan Maya menimbulkan kenikmatan di bawah sana, di tempat selangkangannya yg terhenyak rapat di pangkuan Joni.
Ada cairan bening tipis mengalir perlahan dari dalam tubuhnya …
membasahi lapisan dalamnya. Ada rasa hangat turun bersama aliran itu. Ada rasa geli-nikmatyg yang menyelimuti seluruh penjuru tubuh. Dengan satu tangan yang masih bebas, Joni menyingkapkan rok Maya lebih ke atas, sehingga antara dia dan gadis itu kini hanya ada seutas kain nilon tipis yang telah basah di sana-sini. Setelah itu,tangan Joni masuk menelusuri dari belakang. Maya mengerang merasakan tangan itu membawa kehangatan ke bagian belakang tubuhnyayg penuh padat itu. Maya merintih ketika joni meremas-remas bagian itu, seolah-olah sedang memeras buah hendak mengambil airnya. Gadis itu semakin memajukan duduknya, semakin rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke pangkuan joni.

Malam terasa semakin panas. Keringat muncul di beberapa bagian tubuh keduanya; di ketiak, di punggung, di tengkuk. Lalu celana dalam Maya terlepas sudah, entah oleh tangan joni atau oleh tangannya sendiri. Tdk jelas lagi. siapa yang melakukan apa dalam pergumulan bergairah yg tak terkendal ini. Kedua tangan joni kini ada di bawah.
Yg satu meremas-remas di belakang yg lain menelusup ke depan …
Maya mengangkat tubuhnya, tidak lagi duduk di pangkuanjoni, memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kedua tangan pemuda itu, joni pun segera memanfaatkan keleluasaan itu. Jari-jarinya mengusap-menelusupi kewanitaan Mayayg terasa panas membara.
Gadis itu menggelinjang hebat ketika merasakan ujung jarijoni menyentuh-nyentuh bagian-bagian yg sangat sensitif di bawah sana. Rasanya, bagian-bagiannya telah berubah seluruhnya menjadi ujung saraf belaka, tidak dilapisi apa-apa. Sehingga setiap sentuhan seberapapun ringannya, mampu mengirimkan sentakan-sentakan kenikmatan ke seluruh tubuh. Lalu celana panjangjoni juga telah terbuka. Sekali lagi. Entah siapa yg melakukannya. Mungkin Joni, mungkin Maya, mungkin keduanya. Kejantanan Joni tahu-tahu juga sudah di luar. tegak berputar. Maya meraihnya dengan gemas, tersentak menyadari betapa panasnya otot-kenyal yang menggairahkan itu. Joni mengerang ketika merasakan tangan lembut meremasnya di tasjan yang sangat sensitif. Fi ujung yg sudah sedikit basah pula. Lalu tangan Maya menuntun kejantanan joni ke depan kewanitaannya.
Oh, Maya menggosok-gosok kewanitaannya dengan otot-kenyal padat panas itu …
Oh, rasanya nikmat sekali bagi keduanya. Menggelitik-gelitik, menimbulkan geli nikmat di mana-mana. Dengan kedua tangannya yang kokoh. Joni kini menopang tubuh Maya. Kedua telapak tangan menjadi tumpuan dari pantat gadis itu, sementara dengan tangan Maya terus menggosok-gosokkan kejantanan Joni. Pelan-pelan, kewanitaannya terasa semakin menguak,semakin membuka. Apalagi cengkraman tangan joni juga ikut merentangkan baglan bawah itu, membuatnya semakin terbuka. Kejantanan yg kenyal-tegang itu kini menelusuri permukaan kewanitaan Maya. Menimbulkan rasa geli yg sangat nikmat. Membuat liangnya semakin basah dan licin. Berdenyut-denyut pula. Sesekali ujung kejantanan joni menelusup sedikit ke dalam. Oh,… Maya terpejam merasakan tusukan-tusukan kecil menyeruak ke dalam tubuhnya.
Ahhh….joni juga terpejam merasakan ujung-ujung sarafnya seperti dibelai-belai mesra. Betapa hangat, basah dan licinnya permukaan liang kewanitaan itu. Betapa halusnya, bagai sutra. Maya mengerang-merintih, terus memainkan otot-kenyal di tangan, menggosok ke depan ke belakang, memutar-mutar. Lalu pelan-pelan joni menurunkan tubuh Maya,….cuma sedikit saja, mungkin cuma tiga senti.
Tapi itu sudah cukup membuat Maya tersentak …
mengerang “Aaah…”, merasakan sebuah benda tumpul hangat menyeruak ke dalam tubuhnya. Rasanya sedikit pedih. tapi juga geli dan nikmat. Bercampur baur. Mengejutkan.”Jangan, joni….,” desah Maya sambil berusaha mengangkat tubuhnya. Tapi entah kenapa, dia tak sanggup melakukan hal itu. Rasa nikmat di bawah sana menahannya untuk bergerak.
Maka akhirnya la cuma menggeliat-geliatJoni mengerang pelan. Oh,.. hangat sekali di sana. la merasakan ujung kejantanannya dibalut entah oleh apa. Terasa sempit tetapi juga licin, mencekal erat tetapi juga berdenyut-denyut. Dengan kedua tangan. joni mempertahankan posisi tubuh Maya yg kini bagal melayang antara atas dan bawah, antara kenikmatan dan kekhawatiran. Maya merasakan nikmat luar blasa datang dari liang kewanitaannya yg kini bagal tersumbat sebentuk otot-kenyal. Tak sadar, ia menggoygkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan,
menyebabkan si sumbat menyeruak dinding-dinding bagian dalam kewanitaannya, menimbulkan kenikmatan tambahan. Joni tetap menahan tubuh Maya agar tidak melesak lebih ke bawah. Diam-diam ia khawatir akan apa yang mereka lakukan.
la takut jika seluruh kejantanannya masuk dan merusak sesuatu di dalam sana …
meskipun dia sendiri tak tahu, ada apa di dalam sana.”Aaaaaah!”, tiba-tiba Maya mengerang.Orgasmenya datang bagai banjir bandang. Kedua kakinya mengejang, dan ia ingin mendekatkan pahanya, menjepit kejantanan Joni untuk menimbulkan kenikmatan yg lebih lagi. Tetapi tangan pemuda itu sangat kokoh mencengkram tubuhnya, sehingga akhirnya Maya hanya menyerah saja. Membiarkan tubuhnya berguncang-guncang ketika ia mencapai klimaks yg sedap itu. Kedua tangan Maya mencengkram bahu Joni. Tubuhnya meregang. Matanya terpejam erat, mulutnya setengah terbuka, mengeluarkan keluh sepanjang,”Nggggggg….”.Bersamaan dengan itu.Joni merasakan ujung kejantanannya bagai dipilin-diremas oleh daging kenyal hangat ye bergerak-gerak pembohong.
Sekuat tenaga ditopangnya tubuh Mayayg sedang bergetar hebat. Keringat Joni membasahi badannya. karena tubuh gadis itu tdklah ringan. Apalagi kalau sedang meregang-mengejang seperti ini. Lalu, Joni merasakan klimaksnya datang,ketika Maya masih mengerang-merintih dengan kedua tangan mencengkram bahunya. Cepat-cepat Joni mengangkat tubuh gadis itu, meski Maya terdengar memprotes. la masih cukup waras untuk tidak menumpahkan cairan cintanya di dalam. Dengan satu gerakan, ia menggeser duduknya. Kejantanannya lepas dari cengkraman permukaan liang yg sebetulnya sangat menjanjikan kenikmatan itu. Maya pun akhirnya sadar apa yg dihindari joni. Gadis itu cepat-cepat bergeser ke arah berlawanan. la melihat ke bawah ke arah otot-kenyal yang masih tegak dan seperti bergerak-gerak menggeliat. Oh…cepat-cepat diraihnya bagian tubuh joni yg tadi memberikan kenikmatan di tubuhnya itu.
Cepat-cepat ia meremas, ingin berpartisipasi dalam pencapaian klimaksnya …
“Aaaaah!” joni mengerang panjang. merasakan tubuhnya bagai disentak-sentak ketika cairan-cairan cinta memancar kuat dari kejantanannya. Tangan Mayayg halus terasa menambah nikmat pancaran sekaligus itu menampung cairan-cairan kental panas ye berebut keluar. Maya terduduk di samping Joni, dengan tangan tetap mencengkram, merasakan getaran-gejolak klimaks kekasihnya. Joni berkali-kali mengerang, dengan meregang tubuh dan kedua tangan bertelektekan dipan. Maya merasakan otot-kenyal berdenyut-denyut dalam genggamannya. Menakjubkan sekali!Betapa kuatnya klimaks joni kali ini, menyebabkan tubuh seperti dioyak-oyak. tulang-tulangnya seperti lepas, ototnya seperti pecah. la menghempaskan tubuhnya dipan, dikuti Maya yg berbaring di sebelahnya.
Keduanya masih telanjang di bagian bawah, terengah-engah seperti habis berlari sepanjang hari. Tangan Maya tetap menggenggam di bawah sana, senang bisa menampung tumpah cinta kekasihnya. Rasanya hangat dan licin.Lamunan joni buyar ketika mobil yg ditumpanginya
membelok tajam, menyebabkantubuh Paman Tingga membentur tubuhnya. Lelaki setengah baya itu tetap tertidur, hanya menggumam tak jelas, lalu kembali menegakkan tubuhnya di sandaran kursi Joni menghela napas panjang. Kota kelahirannya semakin jauh tertinggal. Mobil melesat laju dijalan raya antarkota. Di jalan kiri-kanan. sawah luas terbentang,menghijau bagai hamparan karpet . Langit tampak biru dibercaki awan putih.
Puluhan burung bangau tampak terbang ke arah selatan …
joni tiba di kota M menjelang sore. Rumah Paman Tingga cukup besar dan joni mendapat kamar di belakang, dekat dapur dan gudang. Setelah istirahat sebentar, Paman Tingga mengajak Joni membicarakan agenda mereka untuk dua bulan mendatang. Mendengar kata dua bulan. Joni mengeluh dalam hati. Lama sekali rasanya dua bulan itu. Lalu, keesokan harinya Joni diantar Paman Tingga ke tempat kursus yang ramai dikunjungi pemuda sebayanya. Ruang belajar tampak jauh lebih besar dari kelas di sekolah di kota kelahirannya.
Teman-teman barunya juga jauh lebih banyak, dan jauh lebih banyak tingkah. Sebagian dari mereka bahkan sudah bergetar seperti layaknya remaja kota besar m emakai kaca mata hitam segala. Koni tersenyum simpul melihat salah satu dari mereka memakai kacamata secara terbalik. Pastilah itu kacamata pinjaman!Demikianlah,hari-hari berikutnya joni sibuk mengikuti kursus di kota M dan mulai bisa melupakan hal-hal lain. Konsentrasinya penuh ke pelajaran. dan hanya sekali-sekali ia teringat akan Maya dan kota kelahirannya. Hari-hari pun terasa semakin cepat berlalu. Demikian lah Kisah Seru Joni Ber ‘Skidipapap’ Dengan Pacarnya.
Leave a Reply