Pertemuan Tak Terduga

Kisah Seru : Janda dan Marketing Asuransi Tok tok tok… Suara pintu kamarku diketuk, membuyarkan lamunanku. “Siapa?” sahutku. “Saya, Nia…” terdengar suara pembantuku di balik pintu.

“Ada apa, Nia?” tanyaku. “Ada tamu mau ketemu Ibu…” jawabnya. “Dari mana?” Aku bertanya, merasa tidak ada janji bertemu dengan siapa pun. “Katanya dari perusahaan asuransi, sudah janji ingin bertemu Ibu.”

Oh ya, aku baru ingat bahwa aku memang meminta perusahaan asuransi untuk datang ke rumahku hari ini, saat aku libur kerja, karena ingin merevisi asuransi rumahku yang telah jatuh tempo. “Suruh dia masuk dulu dan tunggu di ruang tamu, Nia!” perintahku.

Bergegas, aku mengenakan pakaian, hanya daster terusan yang sederhana. Aku ingin tamuku tidak menunggu lama, jadi wajahku hanya kuoles sedikit saja. Setelah merasa rapi, aku melangkah menemui tamu tersebut.

Tamu yang Menarik

“Selamat siang, Bu!” sapanya dengan hormat saat aku tiba di ruang tamu. “Selamat siang,” balasku. “Perkenalkan, Bu! Saya Arman, marketing executive di perusahaan yang Ibu minta mengurus asuransi kemarin,” sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Aku menyambut uluran tangan dan mempersilakannya duduk. Sejenak, aku mengamati dirinya. Usianya kutaksir sekitar 25 tahun. Yang menarik perhatian adalah tingginya, sekitar 180 cm, yang membuatku merasa sedikit terkesan. Penampilannya bersih dengan kumis tipis yang menghiasi bibirnya, meskipun wajahnya biasa saja.

Kisah Seru : Janda dan Marketing Asuransi
Kisah Seru : Janda dan Marketing Asuransi

Kami terlibat diskusi panjang tentang produk asuransi yang ditawarkan. Ternyata, dia orangnya supel dan ramah. Cara bicaranya mencerminkan wawasannya yang luas, dan samar-samar tidak terlihat “jelalatan” seperti lelaki lain yang pernah aku temui.

Tanpa banyak berpikir, aku langsung menyetujuinya, apalagi preminya tidak terpaut jauh dari asuransi sebelumnya. Dia berjanji akan datang kembali minggu depan membawa polisnya.

Ketertarikan yang Muncul

Sepulangnya Arman, aku masih membayangkannya. Dia sangat simpatik, terutama dengan tubuhnya yang tinggi, hampir sama dengan almarhum suamiku. Aku teringat jawaban almarhum suamiku tentang orang-orang tinggi yang biasanya memiliki kelebihan tertentu. Suatu ketika, aku pernah bertanya mengapa Mas Budi (almarhum suamiku) memiliki ukuran yang besar dan panjang. Dia menjawab dengan candaan bahwa orang yang tinggi dan agak kurus biasanya memiliki “senjata” yang lebih besar.

Aku merasa bingung; tidak biasanya aku berpikir seperti ini, apalagi baru pertama kali bertemu. Namun, aku tidak bisa membohongi diriku—aku tertarik padanya. Waktu seminggu yang dijanjikannya terasa sangat lama.

Kunjungan yang Berulang

Akhirnya, tibalah hari yang dinantikan. Aku berias secantik mungkin, meski tidak mencolok, dan menyambut kedatangannya dengan senyuman. Kali ini, Arman mengenakan pakaian kerja lengkap dengan dasi. Setelah menerima polis asuransi dan menyerahkan pembayarannya, aku mengajaknya sedikit mengenai kehidupannya.

Ternyata, usianya 28 tahun dan statusnya bujangan. Dia masih mengontrak rumah di daerah Kebayoran Lama, Jakarta. “Ibu Rina sendiri, bagaimana?” tanyanya, kini dia balik bertanya padaku.

Kujelaskan statusku yang janda, dan kulihat wajahnya sedikit berubah. “Maaf, Bu! Kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan Ibu,” ujarnya dengan ragu. “Tidak apa-apa, toh gelar ini bukan saya yang menghendaki, tapi sudah suratan.”

Sejak mengetahui statusku sebagai janda, Arman jadi sering datang ke rumahku. Ada saja alasannya untuk berkunjung, meskipun kadang terkesan dibuat-buat. Hubungan kami menjadi lebih akrab; dia pun tidak lagi memanggilku “Bu,” melainkan “Rina,” sementara aku memanggilnya “Mas Arman.”

Momen yang Tak Terduga

Namun, aku merasa heran dengan sikap Mas Arman yang belum pernah menjurus ke arah yang lebih intim, meskipun kami sering bercanda layaknya orang pacaran. Aku mulai berpikir negatif, jangan-jangan Mas Arman “gay.” Padahal, aku

sudah menetapkan dalam hati bahwa Mas Arman adalah orang kedua yang boleh membawaku mengarungi samudera kenikmatan. Namun, pikiran jelek itu tidak terbukti.

Suatu malam Minggu, Mas Arman datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Kami memutar film roman percintaan. Bibiku sudah masuk ke kamarnya dan tampaknya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mungkin dia sengaja memberi kesempatan kepada kami, anak muda yang sedang dilanda asmara.

Saat adegan percumbuan berlangsung, aku meliriknya. Kulihat wajahnya sedikit memerah, dan celana panjangnya yang berbahan tipis terlihat sedikit menggelembung. Aku merasa bimbang. Akhirnya, kutetapkan hatiku untuk memulai percumbuan dengannya, tetapi aku harus mencari cara agar tidak terkesan bahwa aku yang mau. Aku punya ide, meskipun agak tidak biasa—aku harus pura-pura sakit.

Rencana yang Dijalankan

“Aduh, Mas Arman! Kepalaku sakit sekali,” aku mulai menebarkan jaring. Kupegang keningku yang sebenarnya tidak sakit. Pancinganku berhasil, Mas Arman menghampiriku. “Kenapa, Rina?” tanyanya khawatir. “Kok, tiba-tiba sakit?”

“Anu, Mas! Tekanan darahku rendah, jadi kadang-kadang kambuh seperti ini,” aku terus merintih layaknya orang kesakitan. Aku membaringkan tubuhku di sofa. “Mas, tolong bawa aku ke kamar,” kataku semakin nekat. Kulihat Mas Arman kelabakan. “Papah aku, Mas!”

Akhirnya, Mas Arman memapahku ke dalam kamarku. Kutempelkan tubuhku ke punggungnya, dan terasa aliran kenikmatan mengalir di tubuhku.

Keintiman yang Tercipta

Dibaringkannya tubuhku di ranjang tidurku, dan Mas Arman bergegas keluar. “Kemana, Mas?” tanyaku pura-pura lirih. “Bangunin bibi,” jawabnya. “Nggak usah, Mas, tolong keningku dibaluri minyak angin saja,” kataku.

“Minyak anginnya di mana?” tanyanya. “Di meja rias,” jawabku. Mas Arman dengan telaten memijat keningku, dan kurasakan jarinya sedikit gemetar. “Mas, tolong tutup pintu dulu, nanti bibi lihat, nggak enak,” aku baru sadar pintu kamarku masih terbuka. “Sekalian, Mas, TV-nya matiin dulu!”

Mas Arman beranjak mematikan TV, dan aku segera melepaskan pakaianku hingga tinggal bra dan celana dalam saja, kemudian kututupi tubuhku dengan selimut. Dia kembali ke kamarku dan menutup pintunya. “Mas, tolong kerokin aja deh!” aku mulai memasang jurus.

“Lho, pusing kok dikerokin?” tanyanya bingung. “Biasanya aku kalau pusing begini, Mas!” jawabku berkilah, berusaha agar kebohonganku tidak terbongkar. Mas Arman menurut dan mencari uang logam untuk mengeroki tubuhku.

“Jangan pakai uang logam, Mas! Aku biasanya pakai bawang,” kataku. Setelah aku menunjukkan tempat bawang, Mas Arman kembali lagi ke kamarku. Kali ini, kulihat wajahnya sedikit berkeringat, entah karena apa. Segera aku tengkurap. “Cepat, Mas, kepalaku tambah pusing, nih!”

Momen yang Menggugah

Mas Arman membuka selimut yang menutupi tubuhku, dan terkejut dia berkata, “Rina, kapan melepas baju?” “Tadi, waktu kamu keluar,” jawabku santai. Hening sejenak, mungkin Mas Arman masih bimbang untuk menyentuh tubuhku. “Ayo, Mas!”

“Yah… maaf, Rina!” Suara Mas Arman terdengar gugup. Aku mulai merasakan dinginnya air bawang di pundakku, dan gemetarnya tangan Mas Arman terasa sekali. “Kenapa tangan Mas gemetaran?” tanyaku. “Iya, aku nggak biasa,” jawabnya dengan nada agak gugup. “Rileks aja, Mas,” aku mencoba menenangkannya.

Akhirnya, gerakan

tangan Mas Arman semakin lancar di punggungku. Aku mulai merasakan bulu kudukku berdiri, terutama saat tangan Mas Arman mengeroki bagian belakang leherku. Segera aku membalikkan tubuhku, kini buah dadaku yang besar tepat berada di hadapan Mas Arman. “Mas depannya nggak berani,” katanya.

Aku sudah tidak mau bersandiwara lagi. “Mas, kalau depannya jangan dikerok, tapi dibelai,” kataku, menantangnya secara terang-terangan. Kulihat wajahnya sedikit pucat. “Memangnya Mas Arman nggak mau?” tanyaku. “Aku nggak pernah, Rina…” jawabnya polos, membuatku sadar bahwa dalam urusan intim, Mas Arman ternyata tidak punya pengalaman alias perjaka.

Berpikir seperti itu, nafsuku kian bangkit. Segera kudorong tubuhnya hingga rebah di atas pembaringanku. Kubuka kancing bajunya dan melemparkannya ke lantai. “Rina, jangan…” Mas Arman masih berusaha menolak, tapi aku yakin suaranya hanya sekadar basa-basi, atau refleksi dari ketidaktahuannya.

Ciuman Pertama

Aku mulai menciumi bibir Mas Arman, dan kumis tipisnya terasa geli di bibirku. Namun, dia tidak membalas. “Mas Arman kok diam saja?” tanyaku manja. “Tapi, Rina jangan marah, ya?” tanyanya dengan nada bodoh. Mungkin dia merasa bingung, padahal aku yang meminta, kenapa harus marah?

Mungkin tersentak oleh kesadaran bahwa dirinya adalah seorang lelaki, Mas Arman tiba-tiba menyambar bibirku dan melumatnya. Aku berteriak senang dalam hati; malam ini dahagaku akan terpuaskan. Ciuman kami berlangsung lama. Jari-jariku bergerak mengusap dadanya, dan putingnya yang hitam kutarik-tarik.

Sementara itu, jari-jari Mas Arman mulai membelai buah dadaku. Usapannya pada putingku membuat saraf kewanitaanku bangkit. Meskipun usapannya terasa agak takut-takut, kenikmatan yang aku rasakan tidak berkurang. Terlebih lagi, tekanan keras di pahaku membuatku segera sadar bahwa “senjata” Mas Arman mulai bangkit.

Momen Penuh Hasrat

Satu per satu pakaian kami bergelimpangan ke lantai, dan kini tubuh kami sudah bugil. Tubuhku ditindih Mas Arman, perlahan-lahan mulut dan lidahnya mulai menggelitik puting buah dadaku yang terasa semakin mengeras. “Mas… terusss… enak…” aku merintih nikmat. Kisah Seru : Janda dan Marketing Asuransi

Tanganku segera menggenggam “senjatanya,” dan aku kaget dibuatnya—besar sekali, bahkan lebih besar dari punya almarhum suamiku.

Aku merasakan getaran yang kuat di dalam diriku, seolah semua ketegangan yang terpendam selama tiga tahun ini mulai mencair. Mas Arman berada di sampingku, matanya penuh hasrat, dan aku tahu bahwa kami berdua merasakan hal yang sama.

Dengan lembut, aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, merasakan kehangatan tubuhnya. Dia mendekat, dan saat bibirnya menyentuh kulitku, aku merinding. Setiap sentuhan membangkitkan rasa rindu yang mendalam.

Keintiman yang Mendalam

“Mbak Rina…” suara Mas Arman bergetar, penuh kerinduan. Aku merasakan denyut jantungku semakin cepat, seolah-olah kami berada dalam dunia yang hanya milik kami berdua.

Aku ingin lebih dekat, jadi aku mengambil posisi di atasnya. Perlahan, aku menundukkan tubuhku, merasakan ketegangan yang terbangun di antara kami. Saat aku bergerak, aku merasakan campuran antara rasa sakit dan kenikmatan—sebuah pengalaman yang sulit untuk digambarkan.

Kami saling menatap, dan dalam tatapan itu, kami berbagi segala yang tidak terucapkan. Dalam momen itu, waktu seakan berhenti, dan semua yang ada di sekitar kami menghilang. Kami hanyut dalam perasaan satu sama lain, menikmati setiap detik yang berlalu.

Gerakanku semakin cepat, dan aku merasakan denyutan di dalam diriku yang semakin kuat. Suara napas kami bergabung dalam irama yang harmonis, menciptakan melodi yang hanya bisa kami dengar.

Puncak Kenikmatan

Ketika kami mencapai puncak dari semua perasaan ini, aku tahu bahwa kami telah

melampaui batasan yang ada. Dalam pelukan satu sama lain, kami menemukan keintiman yang lebih dalam dari sekadar fisik—sebuah koneksi yang akan selalu kami ingat.

ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya
ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya

Aku merasakan gelombang kehangatan yang mengalir di dalam diriku, dan setiap gerakan pinggulku semakin mendekatkan diriku pada puncak kenikmatan yang kuinginkan. Namun, tiba-tiba, aku menyadari bahwa Mas Arman tidak lagi sekuat sebelumnya, dan rasa panik mulai menguasai diriku.

Aku berusaha membangkitkan kembali semangatnya, berharap bisa merasakan keintiman yang mendalam. Namun, setiap kali aku mendekati puncak, Mas Arman selalu lebih dulu merasakan kelegaan. Meskipun kami sering berbagi momen intim, aku masih merasa ada sesuatu yang hilang—sebuah pengalaman yang belum pernah ku rasakan bersamanya.

Memahami Keterbatasan

Aku mengingat kembali masa-masa bersama almarhum suamiku, saat aku bisa merasakan puncak kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Perbandingan itu membuatku merenung, seolah ada yang kurang dalam hubungan kami. Aku ingin menemukan kembali keintiman yang membuatku merasa utuh.

Mas Arman tampak bingung dan sedikit cemas. “Rina, maafkan aku, aku belum berpengalaman seperti yang kau harapkan,” katanya dengan suara bergetar. Aku bisa melihat keraguan dan ketidakpastian di matanya.

“Tak apa, Mas. Kita bisa belajar bersama,” jawabku lembut, berusaha menenangkannya. Aku tidak ingin membuatnya merasa tertekan. Yang terpenting bagiku adalah kami saling memahami dan menikmati momen ini.

Keterbukaan dan Komunikasi

Kami berbaring bersebelahan, saling menatap. “Aku ingin berbagi lebih banyak denganmu, Rina. Aku tidak tahu banyak tentang ini, tapi aku ingin mencoba,” kata Mas Arman dengan tulus.

“Yang penting adalah kita saling percaya dan terbuka satu sama lain. Mari kita nikmati setiap detiknya,” balasku sambil tersenyum, berusaha meyakinkannya. Aku tahu bahwa komunikasi adalah kunci dalam hubungan ini.

Kami mulai menjelajahi satu sama lain dengan lebih lembut, tanpa terburu-buru. Setiap sentuhan, setiap ciuman, terasa lebih mendalam. Kami berbagi tawa dan candaan di sela-sela momen-momen intim, menciptakan suasana yang lebih nyaman bagi kami berdua.

Menemukan Kenikmatan Bersama

Seiring waktu, kami mulai menemukan ritme yang cocok. Mas Arman mulai lebih percaya diri, dan aku bisa merasakan ketegangan di antara kami mulai mencair. Kami belajar untuk saling memahami keinginan dan kebutuhan masing-masing.

Aku merasakan kehangatan dan cinta yang tumbuh di antara kami. Setiap momen yang kami habiskan bersama semakin memperkuat ikatan kami. Kami tidak hanya berbagi keintiman fisik, tetapi juga emosional.

Akhirnya, kami mencapai puncak kenikmatan yang kami inginkan. Dalam pelukan satu sama lain, kami merasakan kepuasan yang mendalam, seolah-olah kami telah menemukan bagian dari diri kami yang hilang.

Menatap Masa Depan

Setelah momen itu berlalu, kami berbaring dalam keheningan, saling memandang dengan penuh kasih. “Rina, aku merasa sangat beruntung bisa bersamamu,” kata Mas Arman, matanya berbinar.

“Begitu juga aku, Mas. Aku tidak menyangka kita bisa sampai di sini,” jawabku, merasa bahagia. Kami berdua tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam.

Kami berjanji untuk terus saling mendukung dan belajar satu sama lain, baik dalam cinta maupun kehidupan. Momen-momen ini akan selalu menjadi kenangan indah yang akan kami bawa ke masa depan.

Penutup

Dengan penuh harapan, kami menatap masa depan yang cerah di depan kami. Meskipun perjalanan kami masih panjang, kami berkomitmen untuk menjalani setiap langkah bersama, saling mencintai dan memahami satu sama lain.

Dalam keheningan malam, kami tahu bahwa cinta kami akan terus tumbuh, dan kami siap menghadapi segala tantangan yang mungkin datang. Kami adalah dua jiwa yang saling melengkapi, dan bersama-sama, kami akan menjelajahi dunia ini, satu langkah pada satu waktu. Kisah Seru : Janda dan Marketing Asuransi


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *