Kenalan yang Mencurigakan

Menikmati Penumpang Taksi-ku Yang Kesepian , “Mau kemana, Bu?” sapaku standar.
“Hotel Muria, Pak,” jawabnya datar. Pandangannya menerawang ke luar jendela. Kebetulan saat itu sedang gerimis, mungkin membuat jantung galau.
“Darimana tadi, Bu? Kok selai segini belum pulang?” tanyaku basa-basi sekaligus ingin memuaskan rasa penasaran yang tadi kupendam.
Dia diam saja sambil tetap memandang ke luar jendela. Aku memutuskan untuk berhenti bicara. Mungkin dia sedang tidak ingin diganggu. Tak lama kemudian, sampai juga di Hotel Muria.
Dia membayar dengan memberikan uang tip empat ribu rupiah.
“Terima kasih, Bu,” jawabku sambil menerima uang itu.
Tapi dia masih tetap diam, hanya mengangguk pelan sambil meninggalkan taksiku. Tanda tanya masih tetap bergelayut di pikiranku.

Pertemuan Kedua

Dua hari setelah itu, di tempat yang sama, perempuan yang sama.
“Selamat malam, Bu,” senyumku mengembang, berusaha menyapanya ramah. Pikiranku merasa bahwa dia meminta diantar ke tujuan yang sama.

Menikmati Penumpang Taksi-ku Yang Kesepian
Menikmati Penumpang Taksi-ku Yang Kesepian

“Hotel Muria, ya, Pak,” sambil kembali memandang ke luar jendela.
Kucoba menganalisis sendiri karena pikiranku semakin penasaran dengannya. Dari logatnya, sepertinya dia bukan orang Jakarta. Ditambah fakta bahwa dia minta diantar ke Hotel Muria, semakin memperkuat hal tersebut. Cuma yang masih menjadi tanda tanya, mau apa dia di Kemang pada dini hari?
Kutengok sekilas tempat dia menunggu taksi, tak ada tanda-tanda klub malam atau tempat hiburan. Hanya ada beberapa kafe yang sudah tutup dan rumah makan 24 jam, serta dua buah mini market.
“Dari mana tadi, Bu?” tanyaku dengan suara keras sehingga dia tidak punya alasan untuk tidak menjawab, demi memuaskan rasa penasaran.
“Oh, tadi dari ketemu teman,” jawabnya singkat, masih menatap ke luar jendela meski kali ini tak gerimis.
“Sepertinya aku tak melihat ada kafe yang masih buka, Bu,” kataku.
“Di restoran cepat saji, Pak.”
“Oh begitu. Lalu teman tadi sudah pulang?”
“Pulang duluan, Pak, sudah ditunggu istrinya,” jawabnya datar, kali ini diakhiri dengan senyuman tipis.
Dengan hembusan napas berat, terdengar beralih ke layar ponsel. Aku jadi tak enak, sering melirik ke spion. Konsentrasi lalu kukuhkan pada kemudi saja.

Percakapan yang Mengungkap Rahasia

Esok harinya, bagaikan deja vu, kembali taksiku dihentikan olehnya, masih di tempat dan jam yang sama. Sebenarnya aku sengaja lewat tempat itu di jam yang sama, ingin bertemu dengannya lagi. Masih ada beberapa hal yang ingin menanyakannya.
“Malam, Mbak. Hotel Muria?” aku berani menemukan Mbak. Rupanya dia tidak keberatan.
“Iya, Pak,” jawabnya, kali ini dengan senyum.
“Mbaknya bukan orang sini ya? Darimana, Mbak?” tanyaku.
“Semarang, Pak.”
“Mbaknya ke Jakarta dalam rangka apa? Cuma ketemu teman atau ada urusan lain, Mbak?” tanyaku hati-hati. Tak ingin terkesan ingin tahu urusan orang, padahal kenyataannya memang begitu.
“Iya, cuma ingin bertemu teman saya itu,” jawabnya.
“Eh, sebetulnya pacar sih, Pak, bukan teman.”
Aku mencoba menggali ingatanku. Kalau tak salah, kemarin dia bilang bahwa temannya sudah merindukan istrinya. Apa temannya, eh pacarnya itu, sudah punya istri ya, Mbak? Oke, ini sudah keterlaluan, dan saya tidak mengambil keputusan jika dia minta turun. Tapi kenyataannya tidak, dia masih tetap tenang di jok belakang taksiku.
“Iya, Pak. Kami sudah berhubungan dari lama. Rumah tangga mereka bermasalah dan katanya mereka akan segera bercerai. Tapi entahlah, sampai sekarang masih seperti ini. Pertemuan-pertemuan kami tak diketahui istrinya, Pak.”
“Mbak senang dengan hubungan itu?” Entah kenapa aku malah bertanya hal seperti ini. Rasanya ingin menampar mukaku sendiri.
“Sebenarnya sih enggak, Pak. Saya sudah menyakiti banyak orang, termasuk diri saya sendiri. Namun rupanya ada satu sisi saya yang bahagia karena bisa bersama dengan orang yang saya cintai, meski tak bisa memilikinya dengan utuh.”

Akhir Pertemuan yang Tak Terduga

Sampai di lobi Hotel Muria, dia menyerahkan sejumlah uang.
“Pak, ini malam terakhir saya di Jakarta. Besok saya pulang. Terima kasih sudah menjadi teman pengumpulan saya dua hari ini. Saya sangat menghargainya, Pak,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Ya, sama-sama, Mbak.” Kukira dia akan langsung turun seperti biasanya, tapi ternyata…
“Pak,” dia memanggil.
“Iya, Mbak?”
Kupandang wajahnya yang cantik, juga tubuhnya yang sintal. Emm, bolehkah saya minta tolong? tanyanya.
“Silakan, mbak. Kalau memang bisa, pasti saya bantu.”
“Bapak gak keburu pulang kan?”
Kulirik jam di dashboard, jam 2 lewat 5 menit. Sudah larut, istriku pasti sudah menunggu di rumah.

ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya
ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya

“Nggak, Mbak. Memangnya kenapa?” Tapi demi wanita ini, aku rela menahannya.
“Bapak mau menemaniku?” tanyanya lirih, campuran antara rasa marah dan takut. Aku tak langsung menjawab, kucoba untuk mencerna perkataannya. Menemaninya bagaimana, Mbak? kutanya balik. Aku butuh kepastian. Apa ini sesuai dengan bayanganku?
Tidak menjawab, wanita itu malah memeluk tangan melewati pinggulku untuk mencapai suasana jok tempat aku duduk. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya.
Kami pun bercumbu di dalam mobil. Tidak ada yang melihat kami di dalam mobil karena kebetulan kaca mobil ku tampak hitam jika dilihat dari luar. Namun sesekali mobilku tampak seperti bergoyang karena wanita itu yang begitu ganasnya naik turun diatas pangkuanku.
Dan semakin kesini, semakin aku tidak bisa mencabut persetujuan atas ajakan teman saya dulu ini.

Melangkah Ke Kamar Hotel

“Kita turun yuk, pak. Kita masuk dulu.” Wanita itu menghentikan lamanya dan mengajakku memasuki hotel.
Mobil segera kuputar ke palataran parkir dan kutinggalkan di sana. Setengah berlari, kubuntuti wanita itu masuk ke dalam ruangan. Begitu masuk, kudengar telpon berdering, rupanya dari front office hotel.
“Bapak mau minum apa?” tanya wanita itu, telepon berada dalam genggamannya.
“Tidak usah, aku sudah tak sabar ingin merasakan tubuh sintalnya, tidak ada waktu untuk minum-minum.”
“Atau makan mungkin?” dia kembali bertanya.
“Tidak usah repot-repot. Aku kembali menolak. Ayo cepat, kita main, setelah itu aku segera pulang biar istriku tidak curiga.”
Tapi sepertinya keinginanku itu memang harus ditunda dulu.
“Sebentar ya, pak. Saya ke kamar mandi dulu. Sudah kebelet dari tadi.” Pamit wanita itu sambil buru-buru masuk ke kamar kecil yang tersedia di dalam kamar. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar dan menemuiku yang sudah terlentang di tempat tidur dalam keadaan tak berbusana lagi. Dia tampak malu malu saat melihatku padahal tadi dia yang ajak duluan untuk bermain di mobil hehehe. Dia menatap ku sejenak dan bertanya “Sudah tidak sabar ya, Pak?” . Dalam hatiku pun berkata pria mana yang tak sabar melihat dihadapannya ada wanita cantik ini. “Ayo, Mbak, sini.”
Wanita itu mengangguk dan berjalan mendekat. Aku bisa merasakan betapa sangat terangsangnya seluruh syaraf-syaraf libidoku. Aku, laki-laki tua gendut yang sudah lama tidak main dengan perempuan lain selain istriku, hari ini dengan edannya berada di kamar hotel dengan seorang wanita muda cantik yang bertubuh padat sentosa, yang umurnya bahkan belum setengah dari umurku. Sungguh sangat beruntung sekali.

Akhir Pertemuan yang Tak Terduga

Wanita itu menjatuhkannya ke kasur, tepat di sisiku. Serta-merta aku langsung menyambutnya dengan dekapan dan rengkuhan hangat. Kulingkarkan menerima keriput di buah dada yang besar. Dia cuma tertawa saat aku meremas dan mengelus-elusnya perlahan dari luar baju. Aku sudah tidak ingat lagi akan keberadaan anak dan istriku di rumah. Bayangan mereka seolah hilang. Yang ada sekarang adalah aku benar-benar tenggelam dalam pesona dahsyatnya penyelewengan singkat, yang pasti akan dipenuhi kenikmatan dan gelinciran dahsyat. apalagi mengingat lawan mainku adalah seorang wanita yang cantik dan seksi. Kenikmatan yang kuberikan pada wanita itu semakin bertambah. Dengan pengalamanku aku tahu bertahan dimana bagian kelemahan wanita. Kuraih rambutnya yang panjang dan dengan sayang kupeluk tubuhnya yang montok. Tampak kedua kakinya menghentak menahan kenikmatan yang kuberikan saat itu. Setelah selesai, dia pergi ke dapur dan mengambil beberapa minuman.

Aku duduk menghadapnya, menikmati segelas minuman sambil berbincang ringan. Waktu terasa begitu cepat berlalu meski hanya beberapa jam yang kami habiskan bersama. Suasana di dalam kamar yang tenang dan nyaman membuat saya lupa akan dunia luar. Terima kasih sudah menemani malam ini, dengan senyuman lembut, mata yang berbinar katanya memberi kesan bahwa kebersamaan kami malam ini sangat berarti.

“Aku juga senang bisa berada di sini,” jawabku, tak bisa melepaskan pandangan dari pesonanya. Kami berdua tahu bahwa malam ini mungkin hanya sebuah kenangan, namun rasa puas itu tetap ada, meninggalkan kesan yang sulit dilupakan.

Kami saling bertukar pandang, menikmati ketenangan yang hanya diisi oleh detakan detak jantung kami yang berdetak pelan. Meski malam ini akan segera berakhir, aku tahu saat-saat ini adalah bagian dari sebuah cerita yang hanya kami berdua yang mengerti.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *