Panas terik di jalan lurus beberapa kilometer memasuki kota Cirebon

Skidipapap Dengan Putri Keraton tidak menghalangiku untuk terus memacu kendaraan dengan kecepatan cukup tinggi dari arah ibu kota pada siang hari itu. “Demikian, ya. Sambil istirahat setelah seharian nyangkul begitu,” suara centil manja itu memancar dari frekuensi radio komunikasi yang terus kubuka dari tadi, sambil men-scan frekuensi yang sedang dipergunakan. Segera kumatikan modul scan di pesawatku agar tetap dapat memonitor frekuensi tersebut.

“Jadi sekarang sudah di 85, correct?” suara seorang pria terdengar sejurus kemudian, meminta konfirmasi apakah sudah ada di rumah.

“10-47,” kembali suara manja itu menjawab, yang berarti membenarkan.

“Wah… wah… wah… sudah banyak duitnya nih siang begini sudah ada di rumah,” kembali sang pria menimpali.

“Ya nggak jugalah… duit mah tetap butuh,” jawab suara centil itu lagi.

Skidipapap Dengan Putri Keraton
Skidipapap Dengan Putri Keraton

“Break,” sahutku menyela pembicaraan di antara spasi. “Kirain sudah punya banyak duit… ya dibagi-bagi ke sini,” sambung pria tersebut.

“Mas, ada yang mau masuk tuh, silakan di-handle dulu. Saya 10-23 sebentar,” suara centil manja itu menginformasikan kehadiranku kepada rekannya.

“Yang break, silakan masuk,” katanya.

“Selamat siang, di sini Elmo, Mas, dalam line bergerak menuju Cirebon,” sahutku, memperkenalkan diri.

“Selamat siang juga yang handle di sini, Boom… dari mana hendak ke mana, Mas?” tanyanya.

“Dari Kotaraja menuju ke Cirebon gitu,” jelasku padanya.

“Silakan dipergunakan frekuensinya, mungkin ada sesuatu yang ingin disampaikan,” sahutnya, memberikan kesempatan padaku.

“Oh, tidak ada, Mas, cuma ingin nimbrung saja. Soalnya kalau nggak ada yang diajak bicara, saya suka ngantuk nih.”

“Emang berapa personel di gerobak, dan dalam rangka apa nih?” tanyanya lagi.

“Negatif, Mas… dalam rangka dinas begitu, dan di gerobak sendiri saja. Makanya perlu teman ngobrol,” jawabku.

“Mas Elmo… Boom kembali, di sana ada lowongan nggak, Mas? Kalau ada boleh dong ajak-ajak saya,” pintanya.

“Hmm… Anda itu memakai kacamata nggak? Apakah penglihatannya masih cukup jelas?” tanyaku padanya.

“Masih… masih jelas, tidak memakai kacamata.”

“Pendengaran gimana, baik atau sudah menggunakan alat bantu?”

“Masih baik.”

“Rambut… apakah sudah memutih?”

“Ya, Mas, rambut mah masih hitam semua, belum ada yang putih. Umur juga baru kepala 2,” sahutnya kembali menegaskan.

“Eerarti masih kuat lari, betul?”

“Betul… ngomong-ngomong mau dikasih kerjaan apa, sih, kok bertanya begitu?”

“Lha, saya ini kan raja maling. Makanya saya bertanya itu supaya memenuhi persyaratan… mata harus awas supaya saat kebagian tugas jaga bisa mengawasi kalau-kalau ada hansip atau ronda lewat. Telinga harus baik biar saat tugas buka gembok atau kunci tetap bisa mendengar suara kalau ada yang mau nangkap. Rambut juga harus hitam biar bisa sembunyi dalam kegelapan, nggak ketahuan… dan terakhir ya harus bisa lari cepat kalau ketahuan… kalau nggak, kan ya ketangkep,” jelasku padanya.

“Hahaha… hahaha… hahaha…” suara centil manja itu kembali berkumandang.

“Ujug buneeng…” Boom tertawa kecil juga.

“Ya, salam kenal juga buat Mas Elmo yang sedang dalam perjalanan. Hati-hati, semoga selamat sampai di tujuan,” katanya menyalamiku.

“Salam kenal juga, semoga sehat selalu. Kalau boleh tahu, siapa nih yang handle?” tanyaku pada pemilik suara centil manja itu.

“Di sini Vera, gitu, Mas Elmo.”

“Vera? Elmo kembali… iya, dah, salam buat keluarga yang di rumah, semoga sejahtera selalu.”

“Mas Elmo kayaknya… humoris, ya… hahaha.”

“Ya… tergantung situasi begitu, Neng Vera. Kadang serius, kadang bercanda juga. Kalau serius terus mah bisa mati muda nanti.”

“Berapa lama begitu, Mas, di kota udang?”

“Rencana sih cuma seminggu aja, tapi lihat nanti aja, dah.”

“Sudah sering ke Cirebon, gitu, Mas Elmo?”

“Jarang juga… ngomong-ngomong, apa ya makanan yang khas dan enak di sana?”

“Hmm… di sana ada nasi lengko, ada juga nasi jamblang… terus empal gentong juga enak, sama tahu gejrot,” sahutnya berpromosi.

“Kalau siang-siang begini enaknya makan apa ya?”

“Itu aja, Mas Elmo… nasi lengko yang ada di XX,” jawabnya.

“Terima kasih atas informasinya… mau ikut menemani?” ajakku padanya.

“Lain kali deh, Mas Elmo… sekarang sih saya sedang sibuk.”

“Oh, ya sudah… mudah-mudahan lain kali kita bisa kopi darat begitu.”

“Harapan Vera juga begitu, ya… hati-hati saja. Jadi makan siang di sana?”

“Yup… dan terima kasih nih atas obrolannya siang hari ini yang telah menemani saya hingga masuk ke Cirebon.”

“Sama-sama… Vera juga senang bisa ngobrol dengan dirimu. Silakan masuk ke frekuensi ini lagi kalau ada waktu,” ajaknya dengan manja.

Demikianlah sepenggal pembicaraan siang hari itu, dan sesungguhnya apa yang dikatakan Vera itu tidaklah salah. Memang tempat makan yang ditunjukkan adalah favoritku juga, dan itu tidaklah asing karena cukup sering saya mengunjungi kota Cirebon ini.

“Nasi lengko satu porsi, Mas,” pintaku di pintu masuk sesaat setelah tiba di sana.

Kemudian, kupilih salah satu meja yang kosong di tengah.

“Minumnya apa, Mas Elmo?” tanya suara halus dari belakang.

Kontan saja aku terkejut karena tidak banyak yang mengenal namaku demikian, dan dalam diamku, kemudian dia menyodorkan tangannya.

“Vera,” ujarnya sambil tersenyum manis.

“Oh… ugh… oh,” aku tergagap mendapat kejutan seperti itu.

Sungguh tak kukira kini di hadapanku hadir seorang wanita berkulit putih dengan rambut tergerai sedikit melewati bahu dan postur tubuh yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia namun berimbang.

“Kok bengong aja,” ujarnya mengingatkanku.

“Abis… ada bidadari sih… yuk, silakan duduk,” sahutku seraya menggeser tempat duduk dan mempersilahkannya untuk duduk di sampingku.

“Kok tahu mengenai aku?” tanyaku setelah dia duduk.

“Ya kan katanya jadi makan di sini. Tadi aku sudah tiba duluan dan lihat mobil kamu yang lengkap dengan antenanya, terus plat nomornya juga ‘B’,” sahutnya seraya memonyongkan bibir tipisnya.

Siang itu, aku akhirnya makan siang bersama Vera. Hingga selesai, dia belum juga bersedia mengungkapkan nama aslinya, dan aku pun tidak memaksanya. Sebaliknya, saat dia meminta nomor HP-ku, aku memilih untuk tidak memberikannya. Bisa berabe kalau tiba-tiba dia menelepon saat aku bersama istriku—bisa-bisa terjadi “perang dunia.” Sebagai gantinya, aku hanya memberitahunya di mana aku akan bermalam.

Malamnya, sekitar pukul 23.15, telepon di kamarku berdering. Ternyata Vera yang menghubungi dan membuat janji untuk bertemu lagi keesokan harinya. Tanpa terasa, beberapa hari pun berlalu, dan hampir setiap siang kami makan bersama. Namun, di malam hari aku tak bisa menemaninya karena tugas yang harus kuselesaikan dengan anak buahku untuk mengunjungi klien. Pekerjaanku sebagai sales manager di sebuah perusahaan farmasi menuntutku untuk bertemu dokter-dokter pada malam hari dan berdiskusi tentang produk-produk kami. Kadang aku baru bisa menyelesaikan pekerjaan setelah tengah malam, terutama jika dokter yang aku temui memiliki banyak pasien dan baru bisa ditemui dini hari.

“Kapan kau kembali?” tanyanya suatu hari setelah hampir setiap siang kami makan bersama.

“Lusa. Besok masih ada beberapa urusan kantor yang harus kuselesaikan,” jawabku.

“Oh…” Nada kecewa terdengar jelas dari suaranya.

Tanpa terasa, dalam waktu singkat, hubungan kami semakin akrab. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadinya, kami berinteraksi seakan sudah saling mengenal lama tanpa perlu banyak bertanya soal pribadi masing-masing.

“Nanti malam kerja lagi?” tanyanya, ada nada protes dalam suaranya.

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, merasa dia sudah terlalu larut dalam emosi.

Sambil tersenyum menggoda, dia bertanya, “Kenapa? Mau ngajak ke mana emangnya?”

“Jalan yuk,” ajaknya kemudian.

“Ke mana?” balasku, penasaran.

“Ada waktu nggak nanti malam?” tanyaku, bingung.

“Iya, lah. Emangnya kapan lagi?” jawabnya cepat.

“OK, aku jemput di mana?” tanyaku kemudian.

“Hmm, di sini aja… jam 5-an ya,” jawabnya sambil menuliskan sebuah alamat di atas secarik kertas, lalu menyerahkannya padaku. “Nanti tunggu aja di halaman parkir, nggak usah masuk,” pintanya.

Alamat yang diberikannya ternyata adalah kantor sebuah bank pemerintah yang cukup besar di kota ini. Meskipun aku tidak tahu jabatannya, aku bisa menebak bahwa dia bekerja di sana sebagai salah satu karyawannya.

Sekitar jam 5 sore, aku tiba di tempat kerja Vera. Area parkir sudah cukup lenggang, jadi aku memilih tempat yang agak teduh dan tidak terlalu terlihat dari pos satpam atau pintu masuk gedung, tepat di dekat bilik ATM agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Tak lama kemudian, Vera keluar dan langsung masuk ke dalam mobilku.

“Yup, jalan…” katanya begitu duduk.

“Ke mana?” tanyaku, agak bingung.

“Bawalah daku pergi…” sahutnya dengan senandung manja.

“…Dari derita ini,” timpalanku, mengikuti senandungnya. Kami tertawa bersama di sore hari itu.

Dalam keraguan, akhirnya aku mengarahkan mobil menuju kota Tegal di Jawa Tengah dengan kecepatan sedang …

Aku berpikir, jika aku membawanya ke daerah Kuningan seperti Linggarjati, rasanya terlalu riskan. Kota Cirebon ini kecil; kabar bisa cepat menyebar, dan bisa berabe nantinya.

“Ke mana?” tanyanya lagi setelah kami cukup lama terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Ke arah Tegal aja, ya,” saranku.

“Hmm… oke,” jawabnya setuju.

Kami kembali tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mendadak, aku teringat sebuah rumah makan di Comal yang terkenal dengan masakan kepitingnya yang lezat.

“Kita makan kepiting, ya?” kataku, memecah keheningan.

“Boleh, di mana?” jawab Vera, penasaran.

“Pernah ke Comal nggak? Di sana ada rumah makan yang masakan kepitingnya enak lho,” kataku sambil mencoba mempromosikan tempat itu.

“Belum pernah,” jawabnya.

“Kenapa? Sakit gigi ya?” tanyaku, bercanda karena dia cuma bicara sepotong-sepotong.

“Ach… Mas Elmo bingung dan malu nih, soalnya belum pernah pergi kaya gini,” jawabnya dengan suara bergetar, sedikit manja.

Aku hanya tersenyum dan sempat memperhatikan cincin di jari manis kanannya …

“Emang suami kamu nggak pernah ngajak makan malam berdua gitu?” tanyaku dengan nada yakin.

“Pernah sih,” jawab Vera, mulai membuka sedikit kehidupan pribadinya. “Trus sekarang suami kamu mana? Kok nggak diajak sekalian?” tanyaku lagi.

“Mas Bram… masih di Jakarta, sudah seminggu. Mungkin lusa baru kembali,” jawabnya, sedikit menjelaskan.

“Oh, dinas,” kataku, mengerti.

“Sudah punya anak berapa?” tanyaku selanjutnya.

Vera hanya menggeleng perlahan. Aku melihat ada setitik air mata yang menggulir di sudut matanya, namun segera ia hapus dengan cepat, sambil menghela napas panjang.

“Sudah berapa tahun kamu menikah?” lanjutku.

“Jalan 7 tahun,” jawabnya dengan suara lembut, sedikit bergetar menahan emosi.

“Hmm… sudah konsultasi ke dokter?” tanyaku, masih penasaran.

“Sudah… dari diriku semuanya normal,” jawabnya.

“Trus suami kamu?” tanyaku lagi.

“Tidak tahu,” jawabnya singkat.

Kami terdiam dalam keheningan, suasana semakin sendu saat lampu penerangan jalan mulai menyala, menambah kesedihan sore itu …

“Mas Bram adalah bagian dari lingkaran dalam keraton Kxx. Layaknya keluarga ningrat, mereka selalu menyalahkanku karena tidak bisa memberikan keturunan. Dahulu kami tinggal di dalam keraton, tapi sekarang tidak lagi karena saya tidak tahan dengan perlakuan mereka. Namun saya juga tidak bisa memaksa Mas Bram untuk berkonsultasi ke dokter,” keluhnya, suaranya terdengar tertekan.

“Apakah kamu pernah meminta suamimu untuk memeriksakan dirinya?” tanyaku, mencoba melanjutkan percakapan.

“Tidak mungkin, Mas. Dalam keluargaku, istri harus tunduk pada suami. Ya, itulah takdirku,” jawabnya, suaranya semakin sulit terdengar jelas, hingga akhirnya dia menangis.

Aku membiarkan Vera menangis, memberinya ruang untuk melepaskan kegundahannya. Perlahan, aku memberanikan diri mengusap rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkannya. Usapan itu membawa ketenangan bagi emosinya yang mulai reda.

Tanpa terasa kota Tegalpun sudah tertinggal di belakang dan 2 jam telah berlalu hingga kami tiba di tempat yang dituju dan suasana rumah makan yang temaram dengan lampu penerangan secukupnya menambah romantisnya suasana malam itu, sementara pikirankupun terus bermain entah apa maksudnya Vera menceritakan semua hal itu terlebih dengan upayanya untuk mengajakku kencan malam hari ini. Instingku mengatakan Vera menginginkan benih dariku untuk menyemai rahimnya yang tidak pernah tersentuh benih hidup yang membuktikan jati dirinya sebagai wanita. Sikapku yang mesra dan gentle seperti membukakan pintu mobil tadi saat dia masih sibuk memperbaiki dandannya di mobil kemudian menarikkan kursi untuk Vera duduk, dapat sedikit menghilangkan kekakuan sikap kami bahkan sudah mirip seperti sepasang merpatiyang sedang memadu kasih terlebih daerah yang kumasuki ini tidak banyak berhubungan dengan tempat tinggal Vera sehingga lebih memudahkan kami untuk beradapatasi.

Selesai santap malam …

kembali sikap gentle kutunjukkan dengan membukakan pintu mobil baginya dan Vera membalas dengan senyum manisnya, dan sebuah kecupan tipis mendarat di pipiku sesaat setelah aku duduk di belakang kemudi.Thanks yach, ucapnya lembut dengan mata sendunyaAku hanya tersenyum dan membalas dengan mengusap lembut pipinya.. Kemudian kuarahkan mobilku untuk kembali menuju ke kota Tegal dengan satu tekad yang berkecamuk di benakku untuk dapat meniduri Vera malam hari ini. Tidak sulit bagiku untuk mendapatkan hotel yang terbaik di kota ini oleh karena memang bagian tugas darlku untuk harus berkelilling sehingga hubungan bisnis perusahaanku dengan hotel cukup balk sehingga tidak sulit untuk mendapatkan kamar yang kumau.

Satu hal yang mendukung rencanaku juga adalah Vera tidak bertanya dan nampaknya diapun siap untuk menerima resiko tersebut, sementara pikiranku berencana demikian peniskupun sudah tidak mau kompromi lagi dengan mengembang maksimal sehingga ada juga rasa nyeriSesaat pintu kamar hotel kukunci segera kupeluk Vera yang diam pasrah dengan mata tertutup rapat.. kukecup lembut keningnya tepat di belakang pintu kamar hotel, turun sedikit kecupan kuarahkan ke mata kanan, kiri, hidung dan pipi..Dengan tangan kiri kuangkat dagunya perlahan sempat Vera membuka matanya dan memandang sayu. sebelum tertutup kembali.Semakin dekat bibirku ke bibirnya desah nafas hangatyang memburu menerpa sebagian wajahku. kemudian dengan lembut kuletakkan bibirku di atas bibirnyayang merekah membuka basah siap dan pasrah.

Kecupan lembut tersebut menambah riak gelombang birahi untuk semakin memuncak …

dan dengan perlahan kujulurkan lidahku untuk menyentuh ujung lidahnya yang tersentak berdetak sebelum maju perlahan menelusuri panjang lidahku ditambah dengan hisapan lembut membuat lenguhnya muncul perlahan disertai dengan tubuh yang melemas..Hhmmhh..,desahnya saat kulepaskan bibirku dari pagutannya yang sedlkit mulai liar..Perlahan kususupkanjari jemariku mulai dari punggung ke tengkuk dan terus naik ke atas menyibakan rambut sebahunya dan secara bersamaan Vera menengadah memberikan lehernya yangjenjang untuk kukecup.. jilat perlahan mulai dari leher sebelah kiri menuju ke telinga belakang kiri diiringi dengan nafasku yang semakin memburu… dan berakhir dengan lenguhan panjang dari Vera.Aaagghh..

Kemudian kulepaskan blazer biru tuanya sehingga segera nampak pangkal lengannyayang mulus oleh karena Vera menggunakan lengan buntung dan kembali kukecup pangkal lengan sebelah kiri tersebut sementara jari jemari tangan kananku mengusap lembut pangkal lenganyang satunya dan berakhir dengan genggaman tangan kami yang menyatu.Mas Elmoo.. aagghh, desah Vera bergetarMatanya kembali memandangku sayu dan perlahan dalam pelukanku kutuntun dia untuk mendekati ranjang. Kubukakan kancing demi kancing bajunya sementara Vera terus memandangku sayu seolah mengatakan lakukanlah.Dan segera setelah seluruh kancing baju tersebut terbuka, kudapati dadanya yang sangat putih mulus dengan bra berwarna gading dengan rendarenda kecil di bagian atasnya.

Kukecup. kujilat seluruh bidang dada yang tidak tertutup bra …

Kuhirup dalamdalam bau harum lembut yang semakin santer menerpa hidungku membuatku melayang untuk senantiasa memperlakukannya secara lembut dan bersama menari di atas ombak gelora cinta yang menjilat bak lidah api.. berakhir dengan dekapan eratku pada Vera.Kubuka tali pengait branya dan segeralah tersembul buah dada yang selama ini mungkin hanya dilihat oleh suaminya. Tidak besar dengan puting berwarna merah muda yang menjungkit menantang untuk di sentuh.Kulanjutkan untuk membuka risleting roknya sebelum perlahan ku baringkan Vera di atas ranjang yang empuk.. sementara suhu ruangan masih belumterasa dingin oleh karena hembusan lembut udara ac belum cukup lama untuk menyejukkan udara kamar.Vera hingga saat ini masih bersikap pasif dan pasrah seperti layaknya putri keraton yang menerima keadaannya.. dan sekarang kutindih tubuhnya dengan sebaglan tubuhku dan kembali kupermainkan leherjenjang kanannya hingga ke belakang telinga dengan iringan rintihan Vera yang mendesah lembut laksana irama jazz.

Kecupankupun terus turun menuruni garis lehernya secara perlahan untuk kembali mendaki bukit gunung kembar yang mungkin selama ini hanya mengenal sentuhan seorang lelaki, sementara aku adalah lelaki ke duayang beruntung untuk bisa menyentuh dan menghisapnya dengan lembut.. di iring belaian ringan jarijariku mengusap seluruh permukaan kulit bukit kembar tersebutHentakan tubuh Vera diiringi dengan gerak reflex tangan yang berusaha menangkap tanganku dan menekannya secara kuat ke payudaranya disertai dengan tekukan lututnya serta mata terpejam dengan kuat dan rapat menandakan gejolak dalam birahinya yang tak tertahankan berusaha menerobos keluar. Ketelusuri lekuk tubuhnya untuk menggapai tepi celana dalamnya dan segera kuturunkan dibantu oleh Vera yang mengangkat pinggulnya.

Oh.. indah sekali bentuk rambut halus hitam …

yang tertata rapi bagaikan hamparan rumput hitam dengan panjang yang seragam dan terawat balk. Tekanan ringan pada kedua pinggulnya serta hisapan lembut di pundaknya kembali menyentakan Vera disertai dengan jeritan lirih.Arrgghh… diiring dengan tekanan pinggul Vera untuk melawan ke atas. jilatan demijilatan kembali merayap menuruni belahan tengah buah dadanya. Menuju ke perut dan secara reflekpun Vera mempersiapkan jalanku dengan membentangkan kedua belah pangkal pahanya dengan gerakan alami. Tanpa kesulitan dan dengan perlahan kecupan bibirku bisa sampai di belahan tengah bibir bawahnya. Yang disambut dengan mengalirnya cairan putih bening kental dalam jumlah cukup banyak berkelokkelok seperti anak sungai membasahi rerumputan akibat terbukanya bendungan yang menjadi tanggul dari cairan tersebut.

ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya
ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya

Jilatan sedikit kasar untuk mengangkat cairan tersebut dan diakhiri dengan hisapan kuat untuk membersihkan seluruh aliran kental anak sungai ini terasakan bagai dibetotnya sesuatu yang ada di dalam dan meluluh lantakan tulang belulang di tubuh..El.. mo..,jeritan Vera diiringi dengan gerak liar pinggulnya dan tarikan kuat mencengkram bed cover yang belum diangkat saat kulakukan hisapan kuat tadi.EL. mo.. masukkan aku ngga kuat lagi. pintanya dalam nada bergetar mengharap.Segera kubuka kaos yang sedari tadi belum kulepaskan demikian juga seluruh pakaian yang masih menyelimuti tubuhku. Ketika aku mulai menindih tubuh mulus Vera, sensasi kulit nan lembut menyengat seluruh saraf sensitive di tubuhku dan mengakibatkan uraturat di penisku menyembul dengan kuat memberikan guratan biru tegas membekas.

Secara refiek Vera kembali menekukkan lututnya dan bebas membuka memberikan jalan bagi penisku untuk segera memasuki relung vaginanya …

Vera kembali memandangku sayu dan berkata perlahan,Lakukanlah.. aku rela bersamamu.Periahan kuarahkan penisku untuk bisa mulai menelusuri lorong kenikmatan dengan relungnya yang kuyakin akan menjepit kuat. Ketika kujumpai ujung lorong tersebut periahan kuturunkan penis tersebut untuk mulai menerobos lorong kenikmatan membor layaknya paku bumi. Diiringi dengan mata Vera yang terus meredup dan terpejam seiring dengan gigitan pada sudut bibirnya untuk menambah sensasi kenikmatan yang mulai berjalan.

Sebaliknya kurasakan juga sodokan perlahan penisku serasa membuka lipatanlipatan lunak yang tak berujung terus ke dalam diikuti dengan jepitan kuat sesudahnya memberikan sensasiyang tak terkirakan.Aaakkhh.erangan panjang Vera disertai dengan mengejang kakunya seluruh
tungkai kaki Vera yang panjang mengakhiri perjalanan penisku untuk mencapai lorong yang paling dalam sementara remasan kuat di bed cover menandakan perjalanan kenikmatan Vera yang masih belum berakhir.Buah dada kenyal tepat berada di bawah dada bidangku dan bisa kurasakan kehangatannya yang terus berdenyut mengalir membawa gelombang birahi bertalutalu.

Sunegingan senyum manis Vera menghias ujung bibirnya …

ketika mata bening itu bertatapan dengan mataku dalam jarak yang begitu dekat diiringi dengan lenguh nafasnya yang tetap memburu semakin menggila dan kedutan halus malumalu dilakukannya dengan tetap memandangku diiringi dengan senyum manisnya.Hebat.. teruskan. pujiku untuk menambah kepercayaan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu hal yang tabu dan memang diperlukan untuk dapat menambah nikmatnya hubungan kami. Pujianku memberikan keberaniannya untuk segera melakukan manuver tersebut dan seiring dengan kembali terpejamnya mata lentik tersebut. Remasan kuat berirama mengurut penisku yang membangkitkan seluruh titlk saraf di tubuhku untuk terpusat pada gerakannya.. remasannya..Perlahan kulakukan perlawanan dengan
menggenjot penisku untuk mengimbanei remasannya diiringj dengan lenguh nafas yang terus memburu seperti derak bantalan rel kereta yang dilalui.Hhshshshhshhs… dengus nafasku tak dapat kekendalikanUuugghh.. uugghh…

Vera tak kalah serunya merintihBuliran keringat sebesar jagung mulai membasahi keningku dan menetes di dadanya. Demikian juga butiran keringat Vera mulai membasahi tubuhnya khususnya di pundaknya sehingga geraian rambut yang basah dan menempel pada pundaknya menambah pesona memompa birahiku untuk mendaki mencapai puncaknyaGerakanku semakin seirama dengan hentakan pinggul Vera apakah demikian kuatnya ikatan emosi. Sehingga tak terialu lama bagi kita untuk menyatukan irama gerakan kami akupun tak tahu namun hentakan menghunjam semakin kuat dan cepat dan berakhir dengan..Ellmmoo,teriakan Vera sesaat sebelum aku mencapai puncaknyaTubuh Vera mengejang sesaat sebelum akhimya membujur lemas diam tak bergerak, wajah ayunya meninggalkan buliran keringat halus yang membentuk guratan halus ketika kuraba menurunileherjenjangnya dan berkilap tertimpa cahaya lampu kamar.

Tak bosan kupandang wajahnya yang memang ayu …

Tak lama Vera mulai membuka matanya dan memandangku kembali dengan senyum khasnya.Sebagai balasannya ku angkat penisku perlahan dan secara refiek Vera berusaha menahanku untuk tetap berada di dalamnya. Namun tetap kuangkat perlahan dan segera kubalikan tubuh lemas Vera.Kupandang punggung halusnya dengan beberapa helai rambutyang tetap menempel basah oleh keringat. Kuraba perlahan menyingkap helaihelai rambut tersebut untuk mendapatkan punggungnya secara utuh. Buliran keringat nampakjelas pada kedua belah bahunya menggodaku untuk kembali menjilatnya dan terus merayap ke atas menelusurileher jenjangnya dan membasahi rambutrambut halus yang tumbuh di sekitar tengkuknya dengan air liurku.Rintihan nikmat kembali terdengar seiring dengan bangkit kembalinya gelora gairah yang sempat mendatar tadi setelah mencapai puncaknya,Eegghh.

Permainan jarijariku yang merayap naik turun menelusuri seluruh lekuk tubuh Vera segera memicu kembali adrenalinku. Terlebih rintihan nikmat tersebut semakin cepat memburu dan hanya membutuhkan waktu yang teramat singkat untuk segera membangkitkannya.Kembali kutindih tubuh Vera dari belakang dan kuarahkan kembali penisku yang sedari tadi tetap menegang.Sementara belahan kaki yang tampak sangat indah tersebut kembali terbuka lebar menyisakan lubang yang masih terbuka dan berdenyut halus dengan lendir yang membasahi sekelilingnya. Kuingin memasukinya kembali secara periahan dan menikmati sensasi kenikmatan saat kumasuki relungnya tersebut secara perlahan dengan jepitan yang kurasakan lebih kuat lagi..El… cee.. pat lakukan, aku tak tahan.. Eeell, rintihnya perlahan namunterdengar jelas.

Perlahan namun pasti terus kudorong masuk penisku hingga mencapai jarak terjauhnya …

dan segera kuayunkan berirama.Gerakanku kali ini diimbangi dengan lenguhannya tiap kali ujung penisku menyentuh mulut rahimnya, Arrkkh.., terus El.. arrkkhh.Semakin lama genjotanku semakin kuat bertenaga seiring dengan memuncaknya sensasi yang kurasakan mulai menumpuk di ujung penis untuk menyemburkan sperma yang sedari tadi tertahan, dan jepitan liang vagina Verapun semakin mantap kurasakan.Butiran keringat bak pasir di tepi pantai yang membasahi pundaknya kembali keluar dengan derasnya yang segera berubah membesar menyerupai butiran jagung tersebar merata hingga ke punggungnya.. berkilap tertimpa cahaya lampu.

Hingga ketika tiba saatnya, ujung penisku berdenyut kencang dan dalam 1.. 2.. tusukan terakhir aku hunjamkan sekuat tenaga dan sedalamnya. Yang diiringi dengan teriakan Vera disertai gelengan kepalanya yang ke kiri dan ke kanan dengan cepat dan. srett.. srett.. sret semburan maniku menelusuri panjang penisku dan menerjang masuk menabrak dinding rahimnya melemparkan puncak kenikmatan hingga keujungnya danjatuh demikian terjal dalam kelelahan nikmat yang tak berujung.

Aaacchh..jeritan terakhir Vera sebelum dia kembali terjatuh dan diam dalam kelelahan yang teramat sangat …

Peluh yang bercucuran bercampurjadi satu ketika tubuhku ambruk dan menindih tubuh mulus Vera.

Bau harum keringat segera membuaiku dalam mimpi terindah bersama Vera.Thanks Ver, ucapku sesaat sebelum ku terielapThanks juga El, sahutnya lemahLuluh lantak rasanya tubuhku malam itu dan terkuras habis staminaku setelah sebelumnya banyak tersita oleh urusan dinas. Namun apa yang kuberikan saat itu memberikan makna dan kesan yang sangat mendalam di lubuk hati Vera. Oleh karena baru kali ini dia merasa begitu dihargai dan diperlakukan manja sebagaimana layaknya seorang istriyang memiliki kedudukan sama. Demikian lah Kisah Seru Skidipapap Dengan Putri Keraton.

ISOTOTO : Platform Game Online Aman dan Terpercaya


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *