Kelainan imajinasi bercintaku membuat harga diriku seperti terbuangt sia-sia. Pernahkah kamu merasa terjebak dalam dunia yang hanya ada di dalam imajinasimu? Begitulah perasaanku saat itu—sebuah dunia yang dibangun dari harapan, ilusi, dan cinta yang seolah-olah nyata. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Kelainan imajinasi bercinta yang kupelihara justru membawa harga diri dan kepercayaanku pada diriku sendiri terbuang sia-sia. Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat menghancurkan lebih dari sekedar hubungan; ia juga bisa merusak harga diri seseorang.
1. Membangun Imajinasi Bercinta yang Ideal
Awalnya, aku memiliki gambaran cinta yang ideal. Imajinasi tentang cinta sejati, tentang pasangan yang selalu mendukung satu sama lain dalam segala hal, tentang kebahagiaan yang tak terhingga. Semua itu seolah-olah menjadi landasan bagi harapanku terhadap hubungan yang aku jalani. Setiap tindakan dan kata-kata pasanganku, aku tafsirkan dengan cara yang sangat berbeda dari kenyataan. Aku ingin segalanya sempurna, dan dalam ketidaksempurnaan itulah aku mulai merasa kecewa.
Secara bertahap, aku mulai meyakini bahwa cinta itu harus selalu berjalan sesuai dengan harapanku. Begitu banyak harapan yang kuhimpun—harapan bahwa pasanganku akan selalu ada di saat aku gemetar, bahwa kami akan melewati segala cobaan bersama tanpa hambatan berarti. Tanpa disadari, aku mulai terjebak dalam dunia khayalan yang aku buat sendiri, di mana cinta selalu sempurna dan tak pernah ada kesalahan. Namun, kenyataannya, hal itu justru menciptakan ketidaksesuaian antara apa yang saya harapkan dan apa yang pasangan saya berikan.
2. Ketika Harapan Tidak Sesuai dengan Kenyataan
Pada titik tertentu, saya mulai merasakan perbedaan yang jelas antara dunia imajinasi yang saya ciptakan dan kenyataan yang saya hadapi. Setiap kali pasanganku tidak memenuhi ekspektasi tinggi yang telah kubangun, rasa kecewa mulai muncul. Bukannya menerima perbedaan yang ada, aku justru merasa terhina dan terbuang. Aku menyalahkan diriku sendiri, merasa tidak cukup baik untuk mendapatkan cinta yang “seharusnya” aku dapatkan.
Sama seperti ketika seseorang terlalu lama terjebak dalam mimpi besar, saya mulai melihat kekuranganku—bukan sebagai bagian dari perjalanan belajar, tetapi sebagai kelemahan yang seharusnya tidak ada. Aku mulai membandingkan diriku dengan gambaran cinta yang ada di kepalaku, dan merasa tidak pernah cukup baik untuk itu. Rasa tidak puas itu perlahan menghancurkan harga diriku, membuatku merasa terbuang.
3. Mengabaikan Harga Diri dalam Mencari Cinta
Ketika membayangkan bercinta yang kupunya mulai berbenturan dengan kenyataan, aku merasa terperangkap. Aku merasa harga diriku tidak lagi penting—yang terpenting adalah mempertahankan hubungan ini, meskipun itu berarti aku harus mengorbankan diriku sendiri. Dalam upaya membuat hubungan itu sesuai dengan harapanku, aku rela menekan perasaan dan kebutuhan pribadiku demi memenuhi ekspektasi yang terlalu tinggi.
Dalam keadaan seperti ini, aku mulai lupa bahwa sebuah hubungan seharusnya adalah tentang saling menghargai dan menerima, bukan tentang memenuhi standar yang dibuat-buat. Aku sering kali mengabaikan kebutuhanku sendiri demi menjaga perasaan pasangan, bahkan ketika aku tahu itu merugikan diriku sendiri. Lama kelamaan, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri, seolah-olah harga diriku terbuang sia-sia hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa terwujud.
4. Proses Penerimaan dan Penyembuhan
Akhirnya, setelah banyak pergulatan batin, aku mulai menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Cinta yang sehat adalah cinta yang menghargai diri sendiri dan orang lain tanpa harus mengubah siapa pun agar sesuai dengan gambaran ideal. Aku pun mulai belajar untuk menerima diriku apa adanya, tanpa harus merasa kurang atau tidak cukup. Proses ini tidak mudah, tetapi aku mulai memahami bahwa harga diriku tidak bergantung pada bagaimana hubungan tersebut berjalan, melainkan pada bagaimana aku menghargai diriku sendiri.
Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu. Kelainan imajinasi tentang cinta yang selama ini aku genggam erat-erat akhirnya mulai aku lepaskan. Seiring dengan pemahaman baru yang mulai tumbuh dalam diriku. Aku belajar bahwa kadang-kadang, untuk menghargai diri sendiri. Kita perlu berhenti mencari kesempurnaan di luar sana dan mulai mencintai diri kita tanpa syarat. Harga diri yang terbuang sia-sia itu, akhirnya bisa aku temukan kembali, bukan dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dalam hubungan yang lebih sehat dan penuh dengan penerimaan terhadap diriku sendiri.
Leave a Reply